PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN INFERENSI DAN MENGKOMUNIKASIKAN MATERI LARUTAN PENYANGGA


PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN INFERENSI DAN MENGKOMUNIKASIKAN MATERI LARUTAN PENYANGGA

Diah Ekawati Napsiah Putri* , Ratu Betta Rudibyani, Tasviri Efkar FKIP Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 *Corresponding author, tel: +6282182822674, email: diah.putri47@gmail.com 

Abstract

The Problem Solving Learning to Improve the Inference and Communicate Skills on Buffer Solution Topic. The research which use pre- experiment method had been done in SMAN 1 Seputih Raman with the purpose to describe practicality, effectiveness, and effect size of problem solving learning model in order to improve the inference and communicate skills on buffer solution topic. This research used one group pretest-posttest design and used the 11th grade-5 as sample class which it was obtained by using cluster random sampling. The practicality was determined by the implementation of the lesson plan and students' responses of learning. The effectiveness was determined by the students’ activity, the teacher’s ability, and n-Gain mean value of inference and communicate skills. The results showed that the practicality and the effectiveness of problem solving learning model were categorized on “very high.” The effect size has the “large” category to improved inference skill and “very large” category to communicate skill. Keywords: communicate, inference, problem solving 

Abstrak

Pembelajaran Problem solving untuk Meningkatkan Keterampilan Inferensi dan Mengkomunikasikan Materi Larutan Penyangga. Penelitian yang menggunakan metode pre-eksperimen telah dilakukan di SMAN 1 Seputih Raman dengan tujuan untuk mendeskripsikan kepraktisan, keefektivan, dan ukuran pengaruh model pembelajaran problem solving dalam meningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan pada materi larutan penyangga. Penelitian ini menggunakan one group pretest-posttest design dan menggunakan kelas XI IPA 5 sebagai kelas sampel yang diperoleh dengan menggunakan cluster ramdom sampling. Kepraktisan ditentukan dari keterlaksanaan RPP dan respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran. Keefektifan ditentukan dari aktivitas siswa, kemampuan guru, dan rerata n-Gain keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepraktisan dan keefektivan model problem solving berkategori “sangat tinggi.” Ukuran pengaruh memiliki kriteria yang “besar” untuk meningkatkan keterampilan inferensi dan kategori “sangat besar” untuk keterampilan mengkomunikasikan. Kata kunci: inferensi, mengkomunikasikan, problem solving 

PENDAHULUAN 

Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis se- hingga IPA bukan hanya sebagai penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wa- hana bagi peserta didik untuk mem- pelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut sehingga siswa dapat menerap- kannya dalam kehidupan sehari-hari (Trianto, 2010). 

Kimia merupakan salah satu bagian dari IPA yang mempelajari struktur, susunan, sifat dan perubah- an materi, serta energi yang menyertai perubahan materi yang melibat- kan keterampilan dan penalaran siswa. Pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus mem- perhatikan karakteristik kimia se- bagai sikap, proses, dan produk (Tim Penyusun, 2014). Proses dalam pembelajaran ki- mia dibutuhkan suatu keterampilan. Siswa mudah memahami konsep- konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh kon- krit merupakan salah satu alasan yang melandasi perlunya diterapkan keterampilan proses sains Dimyati dan Moedjiono (2002). Menurut Funk keterampilan proses sains ting- kat dasar (basic scienceprocess skills) terdiri dari enam keterampilan, yakni mengobservasi, mengklasifika- si, memprediksi, mengukur, menginferensi, dan mengkomunikasikan (Trianto, 2010). Dengan adanya keterampilan proses sains tersebut, siswa diharapkan dapat terlibat se- cara aktif dalam proses pembel- ajaran, sehingga dapat mencapai hasil yang sesuai dengan indikator pembelajaran yang telah direncana- kan. Faktanya, pembelajaran sains di sekolah, khususnya pada pembelajar- an kimia masih terfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan dengan metode ceramah, penugasan, dan latihan. Hal ini diperkuat dengan hasil observasi pendahuluan yang telah dilakukan di dua SMA Negeri dan satu SMA Swasta di Kabupaten Lampung Tengah. Proses pembel- ajaran kimia di ketiga sekolah tersebut masih menggunakan metode konvensional. Proses pembelajaran masih bersifat teacher centered (berpusat pada guru), mengakibatkan aktivitas siswa rendah, sehingga keterampilan proses sains siswa juga tidak berkembang terutama pada keterampilan inferensi dan mengko- munikasikan. Kegiatan pembelajaran menggunakan teacher centered cen- derung menjadikan siswa sebagai objek pembelajaran dan materi yang didapat pun bersifat instan (Kosasih, 2014). Kegiatan pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas, tidak terlepas dari tujuan kognitif pembel- ajaran itu sendiri. Salah satu tujuan kognitif yang paling penting dari pembelajaran (formal, non formal dan informal) dalam setiap konteks kependidikan adalah pemecahan ma- salah. Pemecahan masalah adalah kemampuan yang diperlukan di du- nia yang berteknologi maju. (Howel, 2009). Kemampuan pemecahan masalah harus dimiliki siswa untuk melatih agar terbiasa menghadapi berbagai permasalahan (Effendi, 2012). Chant, et al., (2009) mengatakan bahwa pemahaman awal suatu masalah bagi siswa sangat penting dalam memecahkan masalah. Pengetahuan awal juga dipandang sebagai keterampilan yang relevan yang dimiliki pada saat akan mengikuti suatu pembelajaran se- hingga dapat dikatakan bahwa pe- ngetahuan awal merupakan prasyarat yang harus dikuasai siswa sebelum mengikuti suatu kegiatan pembel- ajaran (Herawati, et al., 2013). 

Malik & Iqbal (2011) menyata- kan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses dimana siswa dapat menemukan hubungan antara pengalaman sebelumnya dari ma- salah-masalah yang dihadapi dan kemudian menemukan sebuah solusi dari masalah tersebut. Maka, sudah seharusnya seorang guru perlu mem- perbaiki strategi dan proses pembel- ajaran yang berbasis pemecahan masalah untuk meningkatkan aktivitas siswa dari metode teacher centered menjadi student centered. Strategi pembelajaran yang diharap- kan adalah strategi pembelajaran inovatif, yaitu strategi pembelajaran yang dasar filosofinya adalah kon- struktivisme (Rusmiati & Yulianto, 2009). Upaya untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menginferensi dan mengkomunikasikan dapat dilakukan dengan menerapkan strategi dan media pembelajaran yang sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut pada proses pembelajaran kimia di sekolah. Siswa dilatih untuk mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan pemahaman terhadap sains, me- ngembangkan keterampilan belajar sains, dan literasi sains (Oates, 2002). Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolah adalah dengan menggunakan model pembelajaran problem solving Model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan perilaku dan aktivitas siswa (Gok & Silay, 2010). Jonassen (2010) menguraikan pentingnya pembelajaran problem solving, sebab problem solving meru- pakan kegiatan yang paling nyata dan relevan yang dapat melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Pengetahuan yang terbangun dalam konteks pemecahan masalah akan lebih baik dipahami, dipertahankan, dan lebih cepat diterima oleh peserta didik. Guru cenderung hanya sebagai fasilitator yang memberikan pengarahan sepenuhnya kepada siswa. Ke- aktifan siswa lebih ditekankan, se- hingga akan menumbuhkan motivasi belajar yang akan berpengaruh pada hasil belajar (Supardi & Putri, 2010). Model pembelajaran problem solving memiliki langkah-langkah, yaitu pembelajaran dimulai dengan adanya penemuan masalah oleh siswa; mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk meme- cahkan masalah tersebut; menetap- kan jawaban sementara dari masalah tersebut; menguji kebenaran dari jawaban sementara tersebut; dan langkah terakhir pembelajaran adalah menarik kesimpulan atas pemecahan masalah yang ditemukan (Djamarah & Zain, 2006). Materi yang dipelajari dengan menerapkan model pembelajaran problem solving ini berbasis pada fakta atau fenomena tertentu yang ada di dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan indikator yang sedang dikembangkan oleh guru. Pembel- ajaran problem solving dapat me- ningkatkan aktivitas dan prestasi belajar yang meliputi kompetensi, pengetahuan, sikap, dan keterampil- an siswa (Carolin, et al., 2015). Model pembelajaran problem solving diyakini dapat meningkatkan keterampilan inferensi dan mengko- munikasikan siswa. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Septra, et al., (2008) yang me- nunjukkan bahwa model pembel- ajaran problem solving dapat me- ningkatkan keterampilan proses sains, khususnya keterampilan infe-rensi dan mengkomunikasikan. Ber- dasarkan hal tersebut, diketahui bahwa pembelajaran problem solving dapat melatih keterampilan proses sains terhadap suatu materi kimia. Berdasarkan uraian di atas, maka disajikan hasil penelitian ini yang bertujuan untuk mendeskripsikan ke- praktisan, keefektifan, dan ukuran pengaruh (effect size) model pembel- ajaran problem solving dalam me- ningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan pada materi larutan penyangga. 

METODE PENELITIAN 

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Seputih Raman dengan 5 kelas XI IPA sebagai populasi. Sampel diambil secara acak dengan teknik cluster random sampling, se- hingga didapatkan satu kelas sebagai kelas penelitian, yaitu XI IPA 5 tahun pelajaran 2015/2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-eksperimen dengan One Group Pretest-Posttest Design, me- nurut Fraenkel & Hyun (2012). Instrumen penelitian yang di- gunakan berupa lembar kerja siswa (LKS) kimia materi larutan penyang- ga dengan menggunakan tahapan proses model pembelajaran problem solving, soal pretes dan postes yang terdiri dari soal pilihan jamak (10 butir soal) dan soal esai (8 butir soal) yang mewakili keterampilan siswa dalam menginferensi dan mengko- munikasikan. Selain itu, digunakan juga beberapa lembar penilaian, di- antaranya lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran problem solving, angket respon siswa, aktivitas siswa, dan kemam- puan guru dalam mengelola pem- belajaran dengan menggunakan mo- del pembelajaran problem solving. Validitas soal ditentukan dari perbandingan nilai rhitung dan rtabel. Kriterianya adalah jika rhitung > rtabel, maka soal dikatakan valid. Sedang- kan reliabilitas soal ditentukan dengan rumus Split-Half yang mem- bandingkan nilai r11 dengan rtabel. Kriterianya adalah jika r11 > rtabel, maka soal dikatakan reliabel. Kepraktisan model pembelajaran problem solving ditentukan dari keterlaksanaan RPP yang memuat unsur-unsur dari model pembelajaran dan diukur melalui sintak pembel- ajaran, sistem sosial, dan perilaku guru. Selain itu, kepraktisan juga ditentukan dari respon siswa ter- hadap pelaksanaan pembelajaran yang diukur melalui angket respon siswa yang terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Angket ini diberikan pada akhir pembelajaran. Keefektivan model pembelajar- an problem solving ditentukan dari kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan model pembel- ajaran problem solving yang diukur dengan menggunakan lembar obser- vasi oleh dua orang observer selama pembelajaran berlangsung. Selain itu, keefektifan juga ditentukan dari aktivitas siswa selama proses pem- belajaran berlangsung yang diukur dengan menggunakan lembar obser- vasi oleh dua orang observer. Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil nilai pretes dan postes yang dilakukan oleh siswa, didapatkan skor siswa yang selanjut- nya diubah menjadi nilai siswa. Data nilai yang diperoleh tersebut ke- mudian dianalisis dengan meng- hitung n-Gain. Perhitungan skor n- Gain dilakukan dengan mengguna- kan rumus yang dikembangkan oleh Hake (2002) dengan kriteria seperti pada Tabel 1.

Uji normalitas rumusan hipotesisnya adalah terima H0 dengan kriteria uji χ2 hitung < χ 2 tabel, berarti sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Dan sebaliknya, apabila tolak H0 berarti sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Uji homogenitas rumusan hipotesisnya adalah terima H0 dengan kriteria uji Fhitung< Ftabel, berarti kedua kelas penelitian mempunyai varians yang homogen. Sedangkan, apabila tolak H0 berarti kedua kelas penelitian mempunyai varians yang tidak homogen. Ukuran pengaruh (effect size) model problem solving pada pem- belajaran larutan penyangga terhadap peningkatan keterampilan siswa dalam menginferensi dan mengko- munikasikan, dilakukan dengan menggunakan uji t (paired t test) dan uji effect size. Ukuran pengaruh dihitung dengan menggunakan per- bandingan n-Gain dari nilai pretes yang telah dilakukan di awal pem- belajaran dan nilai postes pada akhir pembelajaran. Effect size ditentukan berdasarkan nilai paired t test. Se- dangkan nilai dari paired t test ditentukan berdasarkan rerata nilai pretes dan postes serta nilai varians pretes dan postes baik untuk keterampilan menginferensi dan mengko- munikasikan. Uji paired t-test ini memiliki kriteria jika –t1-1/2α < t tabel < + t1-1/2α dengan taraf kepercayaan (α) 5% dan dk = (n-1). Perhitungan uji ukuran pengaruh atau effect size (Cohens, 2014) yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 
Keterangan, r adalah effect size, d adalah indeks Cohen, M1 adalah mean postest, M2 adalah mean pretest, S1 adalah simpangan baku postes, dan S2 adalah simpangan baku pretes dengan kriteria seperti pada Tabel 2. 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut: 

Validitas dan reliabilitas instru- men tes 

Hasil validitas instrumen tes keterampilan inferensi dan mengko- munikasikan yang diperoleh disaji- kan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai dari rtabel sebesar 0,423 dan semua soal tes keterampilan inferensi dan mengkomu- nikasikan memiliki nilai rhitung > rtabel, sehingga semua soal dinyatakan valid. Hasil perhitungan reliabilitas soal tes keterampilan siswa dalam menginferensi dan mengkomunikasi- kan sebesar 0,481. Sedangkan nilai dari rtabel sebesar 0,423. Hal tersebut menunjukkan bahwa soal tes keterampilan siswa dalam menginferensi dan mengkomunikasikan dinyatakan reliabel. Berdasarkan hasil tersebut, maka instrumen tes tersebut dapat digunakan untuk pengukuran keterampilan inferensi dan mengkomuni- kasikan .
Kepraktisan model pembelajaran problem solving Hasil analisis terhadap data keterlaksanaan RPP model pembel- ajaran problem solving yang men- cakup sintak, sistem sosial, dan perilaku guru memiliki tingkat keterlaksanaan yang “sangat tinggi” dalam meningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan siswa. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa model pembelejaran problem solving ini layak diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Hasil analisis yang telah dilakukan, di- sajikan pada Gambar 1. 

Gambar 1. Hasil analisis keterlak sanaan RPP model pembelajaran problem solving Hal ini sesuai dengan pendapat Nieveen (dalam Sunyono, et al., 2013) bahwa kepraktisan suatu model pembelajaran merupakan salah satu kriteria kualitas model ditinjau dari hasil penilaian pengamat berdasarkan pengamatannya selama pelaksanaan pembelajaran. Pada awal pembelajaran, setiap aspek pengamatan, baik sintak, sistem sosial dan prinsip reaksi masih kurang berjalan dengan baik. Selama pembelajaran, suasana kelas yang kurang kondusif membuat siswa kurang memperhatikan penjelasan guru, sehingga interaksi yang terjadi kurang baik dan pembelajaran yang kurang sesuai dengan yang direncanakan dalam RPP. Hal ini terlihat pada hasil ketercapaian ratarata yang diperoleh pada pertemuan pertama sebesar 71% berkategori “sangat tinggi.” Pada pertemuan berikutnya, suasana kelas semakin kondusif, siswa mulai aktif dan lebih memiliki sikap percaya diri dalam menyampaikan gagasan, hasil diskusi ataupun pengamatan yang telah dilakukan. Respon siswa secara keseluruh- an terhadap pelaksanaan model pem- belajaran problem solving pada materi larutan penyangga berkategori “sangat tinggi.” Hal ini dapat terlihat dari hasil analisis respon siswa yang telah dihitung dan dapat dilihat hasilnya pada Gambar 2. 

Sebagian besar siswa merasa senang terhadap cara guru mengajar serta merespon pertanyaan atau ko- mentar siswa. Hal ini terlihat dari persentase respon siswa sebesar 96%. Siswa sangat tertarik dengan lembar kerja siswa problem solving yang diberikan guru, terlihat dari persentase respon siswa sebesar 95%. Berdasarkan hasil tersebut, res- pon siswa terhadap penerapan model pembelajaran problem solving pada materi larutan penyangga memiliki kategori “sangat tinggi.” Keefektivan model pembelajaran problem solving Hasil analisis terhadap aktivitas siswa menunjukkan bahwa aktivitas siswa yang relevan terus mengalami peningkatan dari pertemuan pertama sampai dengan pertemuan ketiga. Aktivitas siswa ini diamati oleh dua orang pengamat. Adapun hasil pe- nelitian pengamatan aktivitas siswa terhadap pelaksanaan model pembel- ajaran problem solving diperlihatkan pada Gambar 3. 
Berdasarkan Gambar 3, aktivitas siswa yang diharapkan (relevan) ter- golong “sangat tinggi (>75%).” Pada pertemuan pertama, aktivitas relevan siswa memiliki persentase sebesar 77.78%. Menurut pengamat masih banyak siswa yang pasif dan melakukan hal yang tidak relevan meski pembelajaran baru berlang- sung. Pada pertemuan kedua, aktivitas siswa yang tidak relevan mulai menurun. Dan persentase aktivitas rele- van siswa meningkat menjadi 87.04%. Hal ini sesuai dengan ko- mentar pengamat yang menyatakan bahwa siswa juga terlihat semakin aktif pada aktivitas mengkomuni- kasikan hasil percobaan atau hasil diskusi kelompok, membuat kesim- pulan setelah melakukan diskusi kelompok dan presentasi, serta meli- batkan diri dalam mengulas kembali hasil kerja yang dilakukan bersama dengan guru. Pada pertemuan ketiga, aktivitas siswa yang relevan dengan pembel- ajaran problem solving yang diterapkan juga mengalami peningkat- an dari pertemuan pertama dan ke- dua, yaitu 94,44% dan tergolong dalam kategori “sangat tinggi.” Hal tersebut membuktikan bahwa pada setiap pertemuan, siswa menjadi se- makin aktif dalam melakukan akti- vitas yang relevan. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran berkategori “ting- gi.” Hal tersebut dibuktikan dengan penilai yang diberikan oleh dua orang pengamat yang terus meningkat pada setiap pertemuan terhadap aspek penilaian yang diamati. Hasil analisis data kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran diperlihatkan pada Gambar 4 .
Hasil analisis pada pertemuan pertama, memilik rata-rata persenta- se ketercapaian sebesar 70% dengan kriteria “tinggi” terhadap semua aspek pengamatan seperti orientasi masalah, mencari informasi, menetapkan hipotesis, menguji hipotesis, menarik kesimpulan, pengelolaan waktu, dan pengamatan suasana kelas. Pada pertemuan pertama ini, komponen memfasilitasi dan mem- bimbing siswa dalam melakukan dis- kusi kelompok dan mengerjakan LKS belum dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan kelas yang kurang kondusif selama diskusi berlangsung dan guru yang masih sering terfokus pada kelompok tertentu saja. Pada pertemuan kedua memiliki persentase rata-rata ketercapaian se- besar 79% dengan kriteria “tinggi.” Beberapa aspek pengamatan meng- alami peningkatan. Siswa telah dapat menyesuaikan diri pada kegiatan pembelajaran dengan menggunakan problem solving. Hal tersebut dapat dilihat dari rasa kepercayaan diri siswa mulai muncul, sehingga siswa tidak malu-malu lagi dalam menge- mukakan pendapat, hasil diskusi, ataupun hasil percobaan yang telah dilakukan, maka keterampilan meng- komunikasikan siswa dapat berkem- bang. Pada pertemuan ketiga, memiliki persentase rata-rata ketercapaian se- besar 91% dengan kriteria “sangat tinggi.” Hasil tersebut menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari pertemuan pertama dan kedua. Pada pertemuan ketiga ini, guru berfokus dalam meningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomu- nikasikan dengan cara melibatkan siswa secara aktif dalam setiap tahap pembelajaran, baik untuk menyele- saikan masalah yang ditemukan, melakukan praktikum, maupun menjawab pertanyaan. Cara dan strategi guru melaksanakan proses pembel- ajaran sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan pembelajaran (Hertiavi & Khanafiyah, 2010). Peningkatan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan siswa ditunjukkan melalui besarnya nilai n- Gain yang diperoleh, yaitu selisih antara nilai postes dengan nilai pretes dibagi selisih nilai maksimum dengan nilai pretes yang diperoleh siswa. Persentase n-Gain keterampil- an inferensi dan mengkomunikasikan dapat diperlihatkan pada Gambar 5.

Persentase rerata n-Gain untuk keterampilan menginferensi siswa dengan rata-rata n-Gain 0,60 kriteria “sedang.” Sedangkan untuk keterampilan mengkomunikasikan, hasil perhitungan n-Gain dengan rata-rata 0,80 kriteria “tinggi.” Hasil analisis data aktivitas siswa, kemampuan guru, serta pe- ningkatan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan, menunjukkan bahwa model pembelajaran problem solving efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran kimia. Hal terse- but sesuai dengan pendapat yang di- kemukakan oleh Herman (2007) yang menyatakan bahwa pembel- ajaran bisa dikatakan efektif apabila hasil belajar siswa menunjukkan per- bedaan yang cukup signifikan antara pemahaman awal dengan pemaham- an setelah pembelajaran (n-Gain yang signifikan). 

Ukuran pengaruh (effect size) 

Ukuran pengaruh (effect size) model pembelajaran problem solving dalam meningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan dilakukan dengan menggunakan melakukan uji normalitas, uji homogenitas, paired t test dan effect size. Hasil dari uji normalitas menunjuk- kan bahwa nilai χ 2 hitung sebesar 4,06 sedangkan nilai dari χ2 tabel adalah 10,1 maka tolak H0. Begitupun dengan hasil uji normalitas pada keterampilan mengkomunikasikan juga memiliki kriteria uji terima H0 dengan didapat hasil χ2 hitung sebesar 8,81. Berdasarkan kriteria uji terse- but pada keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan, artinya berasal sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji homogenitas pada nilai pretes menunjukkan bahwa nilai dari Fhitung sebesar 261,06 sedangkan nilai dari Ftabel adalah 1,90. Maka ber- dasarkan kriteria uji adalah terima H0. Begitupun dengan keterampilan mengkomunikasikan juga memiliki kriteria uji terima H0 dengan didapat kriteria pengujian terima H0 dengan hasil Fhitung sebesar 245,66 sedangkan nilai dari Ftabel adalah 1,90. Berdasar- kan kriteria uji tersebut pada keterampilan inferensi dan mengkomuni- kasikan sampel penelitian memiliki varians yang homogen. Uji paired t test dilakukan ter- hadap perbedaan rerata n-Gain antara nilai postes dan pretes pada pe- nerapan model problem solving.

Hasil paired t test pada keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan, keduanya menunjukkan keputusan uji terima H0, artinya terdapat per- ubahan nilai pretes dengan nilai postes pada pengujian soal keterampilan inferensi pada materi larutan pe- nyangga. Perbandingan nilai effect size pada keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan siswa dapat dilihat pada Gambar 6.

Effect size ditentukan berdasar- kan nilai paired t test. Berdasarkan hasil paired t test dan uji effect size yang dilakukan untuk tes keteram- pilan inferensi diperoleh harga paired t test sebesar 19,65 dan untuk keterampilan mengkomunikasikan adalah sebesar 2,12. Nilai tersebut yang kemudian akan digunakan untuk uji effect size dengan derajat kebebasan (df) sebesar n-1. Hasil uji effect size diperoleh nilai sebesar 1,01 dengan efek “besar” untuk keterampilan inferensi dan didapat nilai sebesar 3,04 untuk keterampilan mengkomunikasikan siswa yang me- nunjukkan efek “sangat besar” me- nurut kriteria dari Dincer (2015). Berdasarkan hasil analisis data kepraktisan, keefektifan, dan ukuran pengaruh menunjukkan bahwa model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam menginferensi dan mengko- munikasikan. Untuk mengetahui me- ngapa hal tersebut terjadi, maka dilakukan pengkajian sesuai dengan fakta yang terjadi dengan langkahlangkah dalam pembelajaran problem solving. Pada setiap lembar kerja siswa (LKS), siswa diminta untuk meru- muskan masalah mengenai fenomena yang diberikan oleh guru. Kemudian siswa diminta untuk mencari data atau keterangan yang dapat digu- nakan untuk memecahkan masalah. Pada tahapan ini, ada kendala yang muncul pada pertemuan pertama, karena keterbatasan sarana belajar yang dimiliki siswa. Tahapan selanjutnya siswa di- minta untuk menetapkan jawaban sementara dari masalah yang ditemu- kan. Pada pertemuan pertama terlihat bahwa siswa merasa bingung dalam merumuskan hipotesis. Lalu, siswa melakukan proses penyelidikan untuk mendapatkan fakta mengenai masalah kimia yang ditemukan se- suai dengan langkah penyelesaian yang terdapat pada LKS. Kemudian siswa diminta mela- kukan praktikum untuk membukti- kan kebenaran hipotesis. Guru me- minta siswa untuk merancang pro- sedur percobaan mengenai praktikum larutan penyangga berdasarkan infor- masi yang telah didapatkan dan me- nuliskan hasil pengamatan yang mereka peroleh. Pada tahap menguji ke- benaran hipotesis ini dapat melatih keterampilan mengkomunikasikan siswa dengan menuliskan data hasil percobaan yang telah dilakukan.

Kemudian siswa mampu me- nemukan jawaban dari permasalah- an, maka diharapkan siswa dapat mempresentasikan hasilnya dan memberikan penjelasan sederhana atas jawaban yang diperoleh sehing- ga pada akhirnya didapatkan ke- simpulan dari pemecahan masalah tersebut. Pada tahap menarik ke- simpulan ini, siswa dapat dilatihkan keterampilan menginferensi. Pada LKS 1 siswa diminta untuk menyim- pulkan pengertian dan sifat dari larutan penyangga. Kemudian pada LKS 2, siswa diminta untuk bisa menyimpulkan komponen dan meng- hitung pH dari larutan penyangga. Dan pada LKS 3 siswa diminta untuk mampu menyimpulkan peran dari larutan penyangga bagi makhluk hi- dup. Berdasarkan kegiatan pada ta- hap-tahap tersebut, terlihat jelas bah- wa dengan penerapan model pembel- ajaran problem solving tersebut, sis- wa dapat belajar secara aktif mem- bangun konsep-konsepnya sendiri dan menyelesaikan masalah dengan berperan aktif di dalamnya, siswa dapat melatih kerjasama dalam kelompok, siswa dapat berinteraksi dengan siswa serta guru, dan mem- pelajari materi secara lebih bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pem- belajaran dengan model problem solving sesuai dengan karakteristik materi larutan penyangga yang lebih banyak membutuhkan pemahaman konsep dan penerapannya. Konsep yang diperoleh sendiri oleh siswa cenderung mudah diingat dan di- pahami. Dari konsep yang diperoleh tersebut akan memudahkan siswa untuk menjawab persoalan-persoalan terkait dengan materi yang dipel- ajarinya. Berdasarkan hasil yang diper- oleh dari kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, aktivitas siswa, dan hasil dari penguasaan konsep di akhir pemebelajaran dapat disimpulkan bahwa model pembel- ajaran problem solving memiliki ke- efektivan yang sangat tinggi untuk meningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan siswa. Se- hingga model pembelajaran ini layak untuk diterapkan dalam materi larutan penyangga. 

SIMPULAN 

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan, maka diperoleh simpulan bahwa pembel- ajaran dengan menggunakan model problem solving memilki kepraktisan dan keefektifan yang sangat tinggi dalam meningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan. Model pembelajaran ini juga berefek besar terhadap peningkatan keteram- pilan inferensi siswa dan berefek sangat besar terhadap peningkatan keterampilan mengkomunikasikan siswa pada materi larutan penyangga. Sehingga model pembelajaran problem solving baik untuk diterapkan dalam pembelajaran kimia di sekolah. 

DAFTAR RUJUKAN 

Carolin, Y., Saputro S., Saputro A. N. C. 2015. Penerapan Metode Pembelajaran Problem Solving Dilengkapi LKS untuk Meningkat- kan Aktivitas dan Prestasi Belajar pada Materi Hukum Dasar Kimia Siswa Kelas X Mia 1 SMA Bhinneka Karya 2 Boyolali Tahun Pelajaran 2014/2015. Jurnal Pendidikan Kimia, 4 (4): 46-53. Chant, R. H., Moes, R. & Ross, R. 2009. Curriculum Construction and Teacher Empowerment Supporting Invitational Education with a Creative Problem Solving Model. Journal of Invitational Theory and Practice 30 (15): 55-67. Cohens, J. 2014. The Statistical Power of Abnormal-Social Psychological Research. Journal of Abnormal and Social Psychology,65 (3): 145-153. Dimyati & Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Dincer, S. 2015. Effect of Computer Assisted Learning on Students’ Achievement in Turkey: a Meta-Analysis. Journal of Turkish Science Education, 12 (1): 99-118. Djamarah, S.B., dan Zain, A. 2006. Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta: Jakarta. Effendi, L. A. 2012. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan, 13 (2):1-10. Fraenkel, J. R., Wallen, N. E., & Hyun, H. H. 2012. How to Design and Evaluate Research in Education (Eigth Edition). New York: McGrawHill. Gok, T. & Silay, I. 2010. The effects of problem solving strategies on student’s achievement, attitude and motivation. Journal of. Physic. Education, 4 (1): 7-21. Hake. 2002. Relationship of Individual Student Normalized Learning Gains in Mechanics with Gander, High-School, Physics, and Pretest Scores on Mathematics and Spatial Visualization. (Online), (http://www.physics.indiana.edu/~ha ke), diakses 18 Maret 2016. Herawati, R. F., Mulyani, S., & Redjeki, T. 2013. Pembelajaran Kimia Berbasis Multiple Representasi Ditinjau dari Kemampuan Awal Terhadap Prestasi Belajar Laju Reaksi Siswa SMA Negeri 1 Karang Anyar Tahun Pelajaran 2011/2012. Jurnal Pendidikan Kimia, 2 (2): 36- 43. Herman, T. 2007. Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Pendidikan Matematika, 1 (1): 47- 56. Hertiavi, M. A., Langlang, S., & Khanafiyah, S. 2010. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw untuk meningkatkan Kemampuan Peme- cahan Masalah Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 6 (1): 53-57. Howell, R. T. 2009. Contextual problem solving model origination. Journal of Industrial Teacher Education, 46 (2): 1-9. Jonassen, D. 2011. Support problem solving in PBL. The Interdisciplinary journal of Problem- Based Learning, 5 (2): 95-119. Kosasih, E. 2014. Strategi Bel- ajar dan Pembelajaran. Bandung: Yrama Widya. Malik, M. A. & Iqbal, M. Z. 2011. Effects of problem solving and reasoningability of 8th graders. International Journal of Academic Research, 3 (5):80-84. Oates, K.K. (2002). Inquiry Science: Case Study in Antibiotic Prospecting. The American Biology Teacher 64(3): 184-187. Rusmiyati, A. & Yulianto, A. 2009. Peningkatan Keterampilan Proses Sains dengan Menerapkan Model Problem Based-Instruction. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 4 (5): 75-78. Septra, W., Rosilawati, I., & Tasviri, E. 2008. Analisis Keterampilan Mengkomununikasi- kan dan Menyimpulkan pada Materi Koloid dengan Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving. Jurnal Pendidikan Kimia, 4(1): 1-14. Supardi, K. I. & Putri, I. R. 2010. Pengaruh Penggunaan Artikel Kimia dari Internet pada Model Pembelajaran Creative Problem Solving Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa SMA. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, 4 (1): 574-581. Sunyono, Yuanita, L., & Ibrahim, M. 2013. Efektivitas Model Pembelajaran Berbasis Multi- pel Representasi dalam Membangun Model Mental Mahasiswa Topik Stokiometri Reaksi. Jurnal Pendidikan Progresif, 3 (1): 73-86. Tim Penyusun. 2014. Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah . Jakarta: Depdikbud. Trianto. 2010. Model Pembel- ajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.
0 Komentar untuk "PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN INFERENSI DAN MENGKOMUNIKASIKAN MATERI LARUTAN PENYANGGA"

Back To Top