PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN INFERENSI DAN MENGKOMUNIKASIKAN MATERI LARUTAN PENYANGGA
Diah Ekawati Napsiah Putri* , Ratu Betta Rudibyani, Tasviri Efkar FKIP Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 *Corresponding author, tel: +6282182822674, email: diah.putri47@gmail.com
Abstract
The Problem Solving Learning to Improve the Inference and Communicate Skills on Buffer Solution Topic. The research which use pre- experiment method had been done in SMAN 1 Seputih Raman with the purpose to describe practicality, effectiveness, and effect size of problem solving learning model in order to improve the inference and communicate skills on buffer solution topic. This research used one group pretest-posttest design and used the 11th grade-5 as sample class which it was obtained by using cluster random sampling. The practicality was determined by the implementation of the lesson plan and students' responses of learning. The effectiveness was determined by the students’ activity, the teacher’s ability, and n-Gain mean value of inference and communicate skills. The results showed that the practicality and the effectiveness of problem solving learning model were categorized on “very high.” The effect size has the “large” category to improved inference skill and “very large” category to communicate skill. Keywords: communicate, inference, problem solving
Abstrak
Pembelajaran Problem solving untuk Meningkatkan Keterampilan Inferensi dan Mengkomunikasikan Materi Larutan Penyangga. Penelitian yang menggunakan metode pre-eksperimen telah dilakukan di SMAN 1 Seputih Raman dengan tujuan untuk mendeskripsikan kepraktisan, keefektivan, dan ukuran pengaruh model pembelajaran problem solving dalam meningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan pada materi larutan penyangga. Penelitian ini menggunakan one group pretest-posttest design dan menggunakan kelas XI IPA 5 sebagai kelas sampel yang diperoleh dengan menggunakan cluster ramdom sampling. Kepraktisan ditentukan dari keterlaksanaan RPP dan respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran. Keefektifan ditentukan dari aktivitas siswa, kemampuan guru, dan rerata n-Gain keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepraktisan dan keefektivan model problem solving berkategori “sangat tinggi.” Ukuran pengaruh memiliki kriteria yang “besar” untuk meningkatkan keterampilan inferensi dan kategori “sangat besar” untuk keterampilan mengkomunikasikan. Kata kunci: inferensi, mengkomunikasikan, problem solving
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis se- hingga IPA bukan hanya sebagai penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wa- hana bagi peserta didik untuk mem- pelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut sehingga siswa dapat menerap- kannya dalam kehidupan sehari-hari (Trianto, 2010).
Kimia merupakan salah satu bagian dari IPA yang mempelajari struktur, susunan, sifat dan perubah- an materi, serta energi yang menyertai perubahan materi yang melibat- kan keterampilan dan penalaran siswa. Pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus mem- perhatikan karakteristik kimia se- bagai sikap, proses, dan produk (Tim Penyusun, 2014). Proses dalam pembelajaran ki- mia dibutuhkan suatu keterampilan. Siswa mudah memahami konsep- konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh kon- krit merupakan salah satu alasan yang melandasi perlunya diterapkan keterampilan proses sains Dimyati dan Moedjiono (2002). Menurut Funk keterampilan proses sains ting- kat dasar (basic scienceprocess skills) terdiri dari enam keterampilan, yakni mengobservasi, mengklasifika- si, memprediksi, mengukur, menginferensi, dan mengkomunikasikan (Trianto, 2010). Dengan adanya keterampilan proses sains tersebut, siswa diharapkan dapat terlibat se- cara aktif dalam proses pembel- ajaran, sehingga dapat mencapai hasil yang sesuai dengan indikator pembelajaran yang telah direncana- kan. Faktanya, pembelajaran sains di sekolah, khususnya pada pembelajar- an kimia masih terfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan dengan metode ceramah, penugasan, dan latihan. Hal ini diperkuat dengan hasil observasi pendahuluan yang telah dilakukan di dua SMA Negeri dan satu SMA Swasta di Kabupaten Lampung Tengah. Proses pembel- ajaran kimia di ketiga sekolah tersebut masih menggunakan metode konvensional. Proses pembelajaran masih bersifat teacher centered (berpusat pada guru), mengakibatkan aktivitas siswa rendah, sehingga keterampilan proses sains siswa juga tidak berkembang terutama pada keterampilan inferensi dan mengko- munikasikan. Kegiatan pembelajaran menggunakan teacher centered cen- derung menjadikan siswa sebagai objek pembelajaran dan materi yang didapat pun bersifat instan (Kosasih, 2014). Kegiatan pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas, tidak terlepas dari tujuan kognitif pembel- ajaran itu sendiri. Salah satu tujuan kognitif yang paling penting dari pembelajaran (formal, non formal dan informal) dalam setiap konteks kependidikan adalah pemecahan ma- salah. Pemecahan masalah adalah kemampuan yang diperlukan di du- nia yang berteknologi maju. (Howel, 2009). Kemampuan pemecahan masalah harus dimiliki siswa untuk melatih agar terbiasa menghadapi berbagai permasalahan (Effendi, 2012). Chant, et al., (2009) mengatakan bahwa pemahaman awal suatu masalah bagi siswa sangat penting dalam memecahkan masalah. Pengetahuan awal juga dipandang sebagai keterampilan yang relevan yang dimiliki pada saat akan mengikuti suatu pembelajaran se- hingga dapat dikatakan bahwa pe- ngetahuan awal merupakan prasyarat yang harus dikuasai siswa sebelum mengikuti suatu kegiatan pembel- ajaran (Herawati, et al., 2013).
Malik & Iqbal (2011) menyata- kan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses dimana siswa dapat menemukan hubungan antara pengalaman sebelumnya dari ma- salah-masalah yang dihadapi dan kemudian menemukan sebuah solusi dari masalah tersebut. Maka, sudah seharusnya seorang guru perlu mem- perbaiki strategi dan proses pembel- ajaran yang berbasis pemecahan masalah untuk meningkatkan aktivitas siswa dari metode teacher centered menjadi student centered. Strategi pembelajaran yang diharap- kan adalah strategi pembelajaran inovatif, yaitu strategi pembelajaran yang dasar filosofinya adalah kon- struktivisme (Rusmiati & Yulianto, 2009). Upaya untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menginferensi dan mengkomunikasikan dapat dilakukan dengan menerapkan strategi dan media pembelajaran yang sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut pada proses pembelajaran kimia di sekolah. Siswa dilatih untuk mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan pemahaman terhadap sains, me- ngembangkan keterampilan belajar sains, dan literasi sains (Oates, 2002). Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolah adalah dengan menggunakan model pembelajaran problem solving Model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan perilaku dan aktivitas siswa (Gok & Silay, 2010). Jonassen (2010) menguraikan pentingnya pembelajaran problem solving, sebab problem solving meru- pakan kegiatan yang paling nyata dan relevan yang dapat melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Pengetahuan yang terbangun dalam konteks pemecahan masalah akan lebih baik dipahami, dipertahankan, dan lebih cepat diterima oleh peserta didik. Guru cenderung hanya sebagai fasilitator yang memberikan pengarahan sepenuhnya kepada siswa. Ke- aktifan siswa lebih ditekankan, se- hingga akan menumbuhkan motivasi belajar yang akan berpengaruh pada hasil belajar (Supardi & Putri, 2010). Model pembelajaran problem solving memiliki langkah-langkah, yaitu pembelajaran dimulai dengan adanya penemuan masalah oleh siswa; mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk meme- cahkan masalah tersebut; menetap- kan jawaban sementara dari masalah tersebut; menguji kebenaran dari jawaban sementara tersebut; dan langkah terakhir pembelajaran adalah menarik kesimpulan atas pemecahan masalah yang ditemukan (Djamarah & Zain, 2006). Materi yang dipelajari dengan menerapkan model pembelajaran problem solving ini berbasis pada fakta atau fenomena tertentu yang ada di dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan indikator yang sedang dikembangkan oleh guru. Pembel- ajaran problem solving dapat me- ningkatkan aktivitas dan prestasi belajar yang meliputi kompetensi, pengetahuan, sikap, dan keterampil- an siswa (Carolin, et al., 2015). Model pembelajaran problem solving diyakini dapat meningkatkan keterampilan inferensi dan mengko- munikasikan siswa. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Septra, et al., (2008) yang me- nunjukkan bahwa model pembel- ajaran problem solving dapat me- ningkatkan keterampilan proses sains, khususnya keterampilan infe-rensi dan mengkomunikasikan. Ber- dasarkan hal tersebut, diketahui bahwa pembelajaran problem solving dapat melatih keterampilan proses sains terhadap suatu materi kimia. Berdasarkan uraian di atas, maka disajikan hasil penelitian ini yang bertujuan untuk mendeskripsikan ke- praktisan, keefektifan, dan ukuran pengaruh (effect size) model pembel- ajaran problem solving dalam me- ningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan pada materi larutan penyangga.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Seputih Raman dengan 5 kelas XI IPA sebagai populasi. Sampel diambil secara acak dengan teknik cluster random sampling, se- hingga didapatkan satu kelas sebagai kelas penelitian, yaitu XI IPA 5 tahun pelajaran 2015/2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-eksperimen dengan One Group Pretest-Posttest Design, me- nurut Fraenkel & Hyun (2012). Instrumen penelitian yang di- gunakan berupa lembar kerja siswa (LKS) kimia materi larutan penyang- ga dengan menggunakan tahapan proses model pembelajaran problem solving, soal pretes dan postes yang terdiri dari soal pilihan jamak (10 butir soal) dan soal esai (8 butir soal) yang mewakili keterampilan siswa dalam menginferensi dan mengko- munikasikan. Selain itu, digunakan juga beberapa lembar penilaian, di- antaranya lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran problem solving, angket respon siswa, aktivitas siswa, dan kemam- puan guru dalam mengelola pem- belajaran dengan menggunakan mo- del pembelajaran problem solving. Validitas soal ditentukan dari perbandingan nilai rhitung dan rtabel. Kriterianya adalah jika rhitung > rtabel, maka soal dikatakan valid. Sedang- kan reliabilitas soal ditentukan dengan rumus Split-Half yang mem- bandingkan nilai r11 dengan rtabel. Kriterianya adalah jika r11 > rtabel, maka soal dikatakan reliabel. Kepraktisan model pembelajaran problem solving ditentukan dari keterlaksanaan RPP yang memuat unsur-unsur dari model pembelajaran dan diukur melalui sintak pembel- ajaran, sistem sosial, dan perilaku guru. Selain itu, kepraktisan juga ditentukan dari respon siswa ter- hadap pelaksanaan pembelajaran yang diukur melalui angket respon siswa yang terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Angket ini diberikan pada akhir pembelajaran. Keefektivan model pembelajar- an problem solving ditentukan dari kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan model pembel- ajaran problem solving yang diukur dengan menggunakan lembar obser- vasi oleh dua orang observer selama pembelajaran berlangsung. Selain itu, keefektifan juga ditentukan dari aktivitas siswa selama proses pem- belajaran berlangsung yang diukur dengan menggunakan lembar obser- vasi oleh dua orang observer. Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil nilai pretes dan postes yang dilakukan oleh siswa, didapatkan skor siswa yang selanjut- nya diubah menjadi nilai siswa. Data nilai yang diperoleh tersebut ke- mudian dianalisis dengan meng- hitung n-Gain. Perhitungan skor n- Gain dilakukan dengan mengguna- kan rumus yang dikembangkan oleh Hake (2002) dengan kriteria seperti pada Tabel 1.
Uji normalitas rumusan hipotesisnya adalah terima H0 dengan kriteria uji χ2 hitung < χ 2 tabel, berarti sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Dan sebaliknya, apabila tolak H0 berarti sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Uji homogenitas rumusan hipotesisnya adalah terima H0 dengan kriteria uji Fhitung< Ftabel, berarti kedua kelas penelitian mempunyai varians yang homogen. Sedangkan, apabila tolak H0 berarti kedua kelas penelitian mempunyai varians yang tidak homogen. Ukuran pengaruh (effect size) model problem solving pada pem- belajaran larutan penyangga terhadap peningkatan keterampilan siswa dalam menginferensi dan mengko- munikasikan, dilakukan dengan menggunakan uji t (paired t test) dan uji effect size. Ukuran pengaruh dihitung dengan menggunakan per- bandingan n-Gain dari nilai pretes yang telah dilakukan di awal pem- belajaran dan nilai postes pada akhir pembelajaran. Effect size ditentukan berdasarkan nilai paired t test. Se- dangkan nilai dari paired t test ditentukan berdasarkan rerata nilai pretes dan postes serta nilai varians pretes dan postes baik untuk keterampilan menginferensi dan mengko- munikasikan. Uji paired t-test ini memiliki kriteria jika –t1-1/2α < t tabel < + t1-1/2α dengan taraf kepercayaan (α) 5% dan dk = (n-1). Perhitungan uji ukuran pengaruh atau effect size (Cohens, 2014) yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan, r adalah effect size, d adalah indeks Cohen, M1 adalah mean postest, M2 adalah mean pretest, S1 adalah simpangan baku postes, dan S2 adalah simpangan baku pretes dengan kriteria seperti pada Tabel 2.Berdasarkan Gambar 3, aktivitas siswa yang diharapkan (relevan) ter- golong “sangat tinggi (>75%).” Pada pertemuan pertama, aktivitas relevan siswa memiliki persentase sebesar 77.78%. Menurut pengamat masih banyak siswa yang pasif dan melakukan hal yang tidak relevan meski pembelajaran baru berlang- sung. Pada pertemuan kedua, aktivitas siswa yang tidak relevan mulai menurun. Dan persentase aktivitas rele- van siswa meningkat menjadi 87.04%. Hal ini sesuai dengan ko- mentar pengamat yang menyatakan bahwa siswa juga terlihat semakin aktif pada aktivitas mengkomuni- kasikan hasil percobaan atau hasil diskusi kelompok, membuat kesim- pulan setelah melakukan diskusi kelompok dan presentasi, serta meli- batkan diri dalam mengulas kembali hasil kerja yang dilakukan bersama dengan guru. Pada pertemuan ketiga, aktivitas siswa yang relevan dengan pembel- ajaran problem solving yang diterapkan juga mengalami peningkat- an dari pertemuan pertama dan ke- dua, yaitu 94,44% dan tergolong dalam kategori “sangat tinggi.” Hal tersebut membuktikan bahwa pada setiap pertemuan, siswa menjadi se- makin aktif dalam melakukan akti- vitas yang relevan. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran berkategori “ting- gi.” Hal tersebut dibuktikan dengan penilai yang diberikan oleh dua orang pengamat yang terus meningkat pada setiap pertemuan terhadap aspek penilaian yang diamati. Hasil analisis data kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran diperlihatkan pada Gambar 4 .Hasil analisis pada pertemuan pertama, memilik rata-rata persenta- se ketercapaian sebesar 70% dengan kriteria “tinggi” terhadap semua aspek pengamatan seperti orientasi masalah, mencari informasi, menetapkan hipotesis, menguji hipotesis, menarik kesimpulan, pengelolaan waktu, dan pengamatan suasana kelas. Pada pertemuan pertama ini, komponen memfasilitasi dan mem- bimbing siswa dalam melakukan dis- kusi kelompok dan mengerjakan LKS belum dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan kelas yang kurang kondusif selama diskusi berlangsung dan guru yang masih sering terfokus pada kelompok tertentu saja. Pada pertemuan kedua memiliki persentase rata-rata ketercapaian se- besar 79% dengan kriteria “tinggi.” Beberapa aspek pengamatan meng- alami peningkatan. Siswa telah dapat menyesuaikan diri pada kegiatan pembelajaran dengan menggunakan problem solving. Hal tersebut dapat dilihat dari rasa kepercayaan diri siswa mulai muncul, sehingga siswa tidak malu-malu lagi dalam menge- mukakan pendapat, hasil diskusi, ataupun hasil percobaan yang telah dilakukan, maka keterampilan meng- komunikasikan siswa dapat berkem- bang. Pada pertemuan ketiga, memiliki persentase rata-rata ketercapaian se- besar 91% dengan kriteria “sangat tinggi.” Hasil tersebut menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari pertemuan pertama dan kedua. Pada pertemuan ketiga ini, guru berfokus dalam meningkatkan keterampilan inferensi dan mengkomu- nikasikan dengan cara melibatkan siswa secara aktif dalam setiap tahap pembelajaran, baik untuk menyele- saikan masalah yang ditemukan, melakukan praktikum, maupun menjawab pertanyaan. Cara dan strategi guru melaksanakan proses pembel- ajaran sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan pembelajaran (Hertiavi & Khanafiyah, 2010). Peningkatan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan siswa ditunjukkan melalui besarnya nilai n- Gain yang diperoleh, yaitu selisih antara nilai postes dengan nilai pretes dibagi selisih nilai maksimum dengan nilai pretes yang diperoleh siswa. Persentase n-Gain keterampil- an inferensi dan mengkomunikasikan dapat diperlihatkan pada Gambar 5.
Persentase rerata n-Gain untuk keterampilan menginferensi siswa dengan rata-rata n-Gain 0,60 kriteria “sedang.” Sedangkan untuk keterampilan mengkomunikasikan, hasil perhitungan n-Gain dengan rata-rata 0,80 kriteria “tinggi.” Hasil analisis data aktivitas siswa, kemampuan guru, serta pe- ningkatan keterampilan inferensi dan mengkomunikasikan, menunjukkan bahwa model pembelajaran problem solving efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran kimia. Hal terse- but sesuai dengan pendapat yang di- kemukakan oleh Herman (2007) yang menyatakan bahwa pembel- ajaran bisa dikatakan efektif apabila hasil belajar siswa menunjukkan per- bedaan yang cukup signifikan antara pemahaman awal dengan pemaham- an setelah pembelajaran (n-Gain yang signifikan).
0 Komentar untuk "PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN INFERENSI DAN MENGKOMUNIKASIKAN MATERI LARUTAN PENYANGGA"