Pengaruh Model Problem Solving dan Problem Posing serta
Kemampuan Awal terhadap Hasil Belajar Siswa
Ratna Kartika Irawati
Pendidikan Kimia-Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5 Malang. E-mail: ratna.kartika24@gmail.com
Abstract: Chemistry concepts understanding features abstract quality and requires higher order
thinking skills. Yet, the learning on chemistry has not boost the higher order thinking skills of the
students. The use of the learning model of Problem Solving and Problem Posing in observing the innate ability of the student is expected to resolve the issue. This study aims to determine the learning
model which is effective to improve the study of the student with different level of innate ability. This
study used the quasi-experimental design. The research data used in this research is the quiz/test of
the class which consist of 14 multiple choice questions and 5 essay questions. The data analysis
used is ANOVA Two Ways. The results showed that Problem Posing is more effective to improve the
student compared to Problem Solving, students with high level of innate ability have better outcomes
in learning rather than the students with low level of innate ability after being applied with the Problem solving and Problem posing model, further, Problem Solving and Problem Posing is more suitable
to be applied to the students with high level of innate ability.
Key Words: problem solving, problem posing, higher order thinking skills, innate ability, learning
outcomes
Abstrak: Pemahaman konsep-konsep kimia yang bersifat abstrak membutuhkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi. Pembelajaran kimia belum mendorong siswa melakukan keterampilan berpikir tingkat
tinggi. Penggunaan model pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing dengan memperhatikan
kemampuan awal siswa diduga dapat mengatasi masalah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan hasil belajar dengan kemampuan
awal siswa yang berbeda. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen semu. Data penelitian
menggunakan tes hasil belajar yang terdiri atas 14 soal pilihan ganda dan 5 soal esai. Analisis data
menggunakan uji ANOVA Two Ways. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Problem Posing lebih
efektif meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan Problem Solving, siswa berkemampuan awal
tinggi memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang berkemampuan
awal rendah, serta Problem Solving dan Problem Posing lebih cocok diterapkan kepada siswa yang
berkemampuan awal tinggi.
Kata kunci: problem solving, problem posing, keterampilan berpikir tingkat tinggi, kemampuan
awal, hasil belajar
Salah satu materi kimia SMA yang mengandung
konsep-konsep yang bersifat abstrak dan
membutuhkan kemampuan matematika adalah
materi kelarutan dan hasil kali kelarutan (Tacettin
dan Canpolat, 2003). Pada materi tersebut terdapat
beberapa konsep seperti kesetimbangan kelarutan,
kation, anion, ion senama, dan lain-lain. Konsep-konsep tersebut bersifat abstrak sebab berhubungan dengan ion, molekul dan reaksi kesetimbangan yang tidak dapat diamati oleh mata. Materi kelarutan dan
ha-sil kali kelarutan juga mengandung konsep-konsep
yang pemahamannya membutuhkan keterampilan
matematika, misalnya menghitung kelarutan, menghitung Ksp
dan membandingkan nilai Ksp
dengan Qc.
Tacettin dan Canpolat (2003); Stevens (2000); dan
Cacciatore dkk. (2008) menyatakan bahwa siswa
kesulitan memahami materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan sehingga mengalami kesalahan konsep.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru kimia SMA Negeri 1 Lawang, diketahui bahwa siswa kelas XI IPA di sekolah tersebut mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal kelarutan dan hasil kali kelarutan.
Kesulitan terjadi karena
siswa belum memahami konsep-konsep kelarutan
dan hasil kali kelarutan dengan benar atau dapat juga
disebabkan kesulitan menggunakan operasi matematika. Kenyataannya guru lebih mengutamakan keterampilan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Nurrenben dan Pickering (1987), serta
Nakhleh dan Mitchell (1993) menyebutkan bahwa
guru menganggap siswa yang mampu menggunakan
operasi matematika berarti sudah memahami konsep
kimia dengan baik. Banyak siswa yang dapat menyelesaikan masalah/soal kimia tetapi belum memahami
konsep dengan baik (Sawrey, 1990 dan Cardellini,
2006), sehingga diperlukan model pembelajaran yang
sesuai untuk mengatasi kesulitan siswa.
Pemahaman konsep kimia yang baik, terutama
pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan, cenderung diperoleh apabila siswa memiliki keterampilan
berpikir tingkat tinggi yang baik (Zohar dan Dori,
2003). Berdasarkan Taksonomi Bloom, tiga proses
kognitif teratas yaitu menganalisis, mengevaluasi dan
menciptakan merupakan keterampilan berpikir tingkat
tinggi yang akan memberikan hasil belajar tingkat
tinggi. Selama ini ada kecenderungan soal-soal yang
diberikan kepada siswa hanya menuntut keterampilan
berpikir tingkat rendah. Pembelajaran kimia lebih menekankan pada definisi konsep dan kemampuan algoritmik yang hanya memerlukan proses berpikir mengingat, mendefinisikan, memahami dan menerapkan
(Zoller dan Pushkin, 2007). Hal ini menyebabkan keterampilan berpikir tingkat rendah lebih terlatih dibandingkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan
model pembelajaran kelarutan dan hasil kali kelarutan
yang efektif dalam meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Salah satu model pembelajaran yang
diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam materi kelarutan dan hasil kali kelarutan yaitu model Problem
Solving. Lyle & Robinson (dalam Rahayu, 2001)
menyebutkan bahwa model pembelajaran Problem
Solving dalam ilmu kimia merupakan proses yang
meliputi gabungan dari pengetahuan dasar dan keterampilan dasar. Langkah-langkah dalam Problem
Solving menurut Polya (2004) seperti pada Tabel 1.
Model Problem Solving dapat digunakan dalam
pembelajaran kelarutan dan hasil kali kelarutan sebab dalam Problem Solving tidak hanya membutuhkan kemampuan operasi matematika ataupun pengetahuan yang dimiliki, tetapi juga membutuhkan kemampuan menganalisis, merencanakan dan mengevaluasi hingga membuat kesimpulan (Cardellini,
2006). Penerapan model Problem Solving diharapkan dapat mengembangkan proses berpikir siswa sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
Selain model Problem Solving, ada model pembelajaran lain yang dapat diajukan dalam pembelajaran materi kelarutan dan hasil kali kelarutan, yaitu
Problem Posing. English (1997) menyebutkan bahwa model pembelajaran Problem Posing dapat
mengubah cara berpikir siswa, meningkatkan rasa
percaya diri serta membantu memahami konsep dengan baik. Beberapa langkah dalam model Problem
Posing yang dikemukakan oleh Chua dan Yeap
(2009) ditunjukkan pada Tabel 2.
Model pembelajaran Problem Posing dapat digunakan dalam pembelajaran materi kelarutan dan
hasil kali kelarutan sebab penerapan model pembelajaran tersebut mengembangkan proses berpikir siswa
dan melibatkan operasi matematika. Penerapan model Problem Posing juga dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah (Chua dan Yeap,
2009). Penggunaan model pembelajaran Problem
Posing diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.
Selain model pembelajaran, kemampuan awal
juga perlu dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Konsep-konsep yang sudah ada dalam diri siswa
merupakan kemampuan awal. Kemampuan awal
berpengaruh dalam proses pembentukan pengetahuan siswa sehingga perlu diperhatikan agar proses
pembentukan pengetahuan dalam diri siswa berjalan
dengan baik (Adams dan Bruce, 1980 dalam Lipson,
1982). Sebagian besar guru jarang memperhatikan
aspek kemampuan awal siswa, sehingga pada saat
pembelajaran kemampuan awal belum dipertimbangkan. Kemampuan awal adalah konsep-konsep yang
telah dipelajari oleh siswa dan terkait dengan konsepkonsep yang ada pada materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui model pembelajaran yang efektif antara Problem Solving dan
Problem Posing dalam meningkatkan hasil belajar
siswa pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan
ditinjau dari kemampuan awal siswa.
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
eksperimen semu untuk menguji perbedaan hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan model Problem
Solving dan Problem Posing, serta ditinjau dari kemampuan awal siswa. Dua kelas eksperimen digunakan sebagai sampel penelitian. Satu kelas eksperimen
diberi perlakukan dengan menggunakan model Problem Solving dan kelas eksperimen lainnya menggunakan model Problem Posing. Penelitian ini menggunakan desain eksperimen faktorial 2 x 2 (Tabel
3). Pada variabel bebas pertama, siswa dikelompokkan berdasarkan model pembelajaran, yaitu Problem
Solving dan Problem Posing.Variabel bebas kedua,
siswa dikategorikan berdasarkan tingkat kemampuan
awalnya, yaitu tinggi dan rendah. Pembagian kemampuan awal siswa menjadi dua kelompok berdasarkan
rata-rata nilai kelas.
Sampel penelitian diambil dengan teknik cluster
random sampling dari 5 kelas XI IPA SMAN I Lawang tahun ajaran 2012-2013. Penelitian ini menggunakan kelas XI IPA 3 dan XI IPA 4 sebagai sampel.
Data penelitian yang dikumpulkan yaitu hasil belajar pemahaman dan hasil belajar tingkat tinggi setelah pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing dilaksanakan. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tes hasil belajar pemahaman dan
tingkat tinggi. Hasil belajar pemahaman dan pemahaman tingkat tinggi siswa diukur setelah pembelajaran dengan model Problem Solving dan Problem Posing dilaksanakan. Tes yang digunakan untuk mengukur kedua aspek tersebut adalah multiple choice
dan essay tests. Tes dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan proses kognitif Taksonomi Bloom mulai C1 hingga C6. Hasil belajar pemahaman dapat
ditunjukkan dengan nilai tes multiple choice dengan
jenjang mulai dari C1-C3. Hasil belajar tingkat tinggi
diukur dengan soal yang berjenjang dari C4 (menganalisis) sampai C6 (menciptakan). Tes hasil belajar
terdiri atas 14 soal pilihan ganda dengan validasi isi
sebesar 96,1% dan 5 soal essai dengan validasi isi
sebesar 94%. Pengukuran reliabilitas soal diperoleh
dari rumus Cronbach’s Alpha dengan nilai 0,71 untuk
soal pilihan ganda dan 0,70 untuk soal essai.
Teknik analisis data statistik bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing serta kemampuan awal
terhadap hasil belajar pemahaman dan hasil belajar
tingkat tinggi siswa pada materi kelarutan dan hasil
kali kelarutan. Uji hipotesis menggunakan Analisis
Varian (ANOVA) Two Ways dengan taraf signifikan
α = 0,05 untuk menguji hipotesis dengan bantuan program SPSS 16 for Windows.
HASIL
Belajar Pemahaman
Kemampuan siswa dalam memahami materi
kelarutan dan hasil kali kelarutan ditunjukkan oleh
nilai siswa pada aspek kognitif. Hasil belajar pemahaman siswa diperoleh dari hasil ulangan harian materi kelarutan dan hasil kali kelarutan dengan jenjang
soal mulai C1-C3. Soal pilihan ganda yang mengukur
hasil belajar tingkat tinggi adalah nomor 1, 2, 3, 4, 6,
7, 8, dan 14. Tabel 4 menunjukkan deskripsi data hasil belajar pemahaman materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan.
Belajar Tingkat Tinggi Siswa
Data hasil belajar tingkat tinggi siswa terdapat
dalam soal ulangan harian kelarutan dan hasil kali
kelarutan dengan kriteria soal C4-C6. Soal pilihan
ganda yang mengukur hasil belajar tingkat tinggi adalah nomor 5, 9, 10, 11, 12, dan 13. Soal essay yang
digunakan untuk mengukur hasil belajar tingkat tinggi
adalah nomor 1, 2, 3, 4, dan 5. Nilai hasil belajar
tingkat tinggi siswa kelas Problem Solving dan
Problem Posing dapat dilihat pada Tabel 5.
Sebelum dianalisis dengan ANOVA Two Ways,
maka dilakukan uji prasyarat analisis dengan hasil
seperti pada Tabel 6 dan 7.
PEMBAHASAN
Hasil Belajar Pemahaman
Berdasarkan hasil uji ANOVA Two Ways pada
Tabel 8, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara hasil belajar pemahaman siswa yang
dibelajarkan dengan Problem Solving dengan siswa
yang dibelajarkan dengan Problem Posing dengan
taraf siginifikansi (0,033) < (0,05). Hal ini ditunjukkan
dengan rata-rata nilai tes kelarutan dan hasil kali kelarutan siswa pada kelas Problem Posing (79) lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa kelas Problem Solving (70) seperti pada Tabel 4. Hal ini menunjukkan
bahwa model ProblemPosing mempunyai potensi
yang lebih baik dibandingkan model Problem Solving
untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhuraida
(2010) bahwa hasil belajar fisika siswa yang dibelajarkan dengan Problem Posing lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai fisika siswa yang dibelajarkan dengan
Problem Solving.
Model Problem Posing termasuk model pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar pemahaman siswa. Brown dan Walter (1990) menyatakan bahwa pengajuan masalah dapat mengembangkan pemahaman konsep yang lebih baik. Penerapan model Problem Posing dapat meningkatkan
rasa percaya diri siswa, sebab masalah yang ditimbulkan berasal dari siswa itu sendiri (Moses dkk, 1993).
Pemaparan tersebut didukung oleh hasil penelitian
yang dikemukakan oleh Novianti (2011) bahwa model
Problem Posing lebih efektif untuk meningkatkan
hasil belajar siswa dibandingkan model Problem Solving. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Problem Posing menghasilkan gained score yang lebih
tinggi dibandingkan Problem Solving. Hal tersebut
juga didukung oleh beberapa kelebihan yang dimiliki
oleh model Problem Posing diantaranya adalah melatih kemampuan menyelesaikan masalah, meningkatkan pemahaman konsep siswa dan menumbuhkan
rasa percaya diri sebab masalah yang ditimbulkan
berasal dari siswa itu sendiri (Norman dan Bakar,
2011). Model Problem Posing mempunyai potensi
lebih baik dibandingkan Problem Solving untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi kelarutan
dan hasil kali kelarutan.
Hasil uji ANOVA Two Ways pada Tabel 8 menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar siswa
yang berkemampuan awal tinggi dan rendah pada
taraf signifikansi (0,007) < (0,050). Pada Tabel 4,
hasil belajar pemahaman siswa berkemampuan awal
tinggi yang dibelajarkan dengan Problem Solving
mempunyai rata-rata nilai hasil belajar sebesar 66.
Siswa yang berkemampuan awal rendah mempunyai
rata-rata nilai hasil belajar sebesar 55. Pada kelas
Problem Posing siswa yang berkemampuan awal
tinggi mempunyai rata-rata nilai hasil belajar sebesar
72, sedangkan siswa berkemampuan awal rendah
memiliki nilai sebesar 65. Siswa berkemampuan awal
tinggi cenderung mempunyai nilai tes akhir tinggi, sedangkan siswa berkemampuan awal rendah cenderung mempunyai nilai tes akhir rendah.
Svinicki (2003) menyebutkan salah satu manfaat
dari kemampuan awal adalah membantu siswa untuk
menghubungkan kemampuan awal dengan konsep
baru sehingga pemahaman konsep yang baik dapat
dibentuk oleh siswa. Siswa membutuhkan kemampuan untuk menghubungkan kemampuan awal dengan
konsep baru. Siswa dengan kemampuan awal tinggi
lebih mampu menghubungkan konsep lama dengan
konsep baru dibandingkan dengan siswa yang berkemampuan awal rendah, sehingga siswa yang berkemampuan awal tinggi dapat memahami konsep kelarutan dan hasil kali kelarutan dengan baik. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Tobias (1994) dan Setyowati (2012), bahwa siswa berkemampuan awal
tinggi lebih mampu memperbarui pengetahuan baru
yang diperoleh dibandingkan dengan siswa yang berkemampuan awal rendah.
Pada kelas Problem Solving dan ProblemPosing kemampuan awal siswa
mempengaruhi hasil belajar pemahaman.
Berdasarkan Tabel 8 tentang hasil uji ANOVA
Two Ways pada interaksi antara model pembelajaran
dan kemampuan awal terhadap hasil belajar pemahaman siswa menunjukkan bahwa tidak ada interaksi
antara model pembelajaran dengan kemampuan terhadap hasil belajar siswa dengan taraf signifikan
(0,441) > (0,050). Hal ini menunjukkan bahwa Problem Solving maupun Problem Posing mempunyai
potensi untuk meningkatkan hasil belajar pemahaman
pada siswa berkemampuan awal tinggi maupun
rendah. Tabel 4 menunjukkan bahwa siswa yang berkemampuan awal tinggi mempunyai rata-rata nilai
hasil belajar pemahaman lebih tinggi dibandingkan
dengan siswa berkemampuan awal rendah, baik pada
kelas Problem Solving maupun Problem Posing.
Hal ini berarti Problem Solving dan Problem Posing
sesuai diterapkan kepada siswa yang berkemampuan
awal tinggi dan belum sesuai diterapkan pada siswa
berkemampuan awal rendah.
Pelaksanaan model pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing membutuhkan beberapa
kemampuan seperti kemampuan menyelesaikan masalah, kemampuan mengajukan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (Zoller dan Pushkin,
2007). Hal tersebut menyebabkan kreativitas siswa
yang berkemampuan awal tinggi lebih mudah dikembangkan dalam menyelesaikan masalah ataupun mengajukan masalah dibandingkan siswa yang berkemampuan awal rendah sehingga mempengaruhi proses belajar siswa. Pernyataan tersebut didukung oleh
Cardellini (2006) dan Fadillah (2011), bahwa siswa
berkemampuan awal tinggi lebih mudah menyelesaikan masalah dengan tahap-tahap dalam model Problem Solving dibandingkan dengan siswa berkemampuan awal rendah. Proses belajar siswa yang berkemampuan awal tinggi berlangsung lebih efektif dibandingkan dengan siswa yang berkemampuan awal rendah. Model Problem Solving dan Problem Posing
lebih sesuai diterapkan pada siswa yang berkemampuan awal tinggi dibandingkan pada siswa yang berkemampuan awal rendah.
Hasil Belajar Tingkat Tinggi
Pada Tabel 8, hasil uji ANOVA Two Ways menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar tingkat
tinggi siswa yang dibelajarkan dengan model Problem Solving dan Problem Posing dengan taraf signifikansi (0,040) < (0,05). Hasil belajar tingkat tinggi
siswa yang dibelajarkan dengan Problem Posing lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar tingkat
tinggi siswa yang dibelajarkan dengan Problem Solving. Model pembelajaran Problem Posing cenderung lebih efektif dalam melatih berpikir tingkat tinggi
siswa dibandingkan dengan model pembelajaran
Problem Solving. Perbedaan hasil belajar tingkat
tinggi pada kedua model juga disebabkan oleh perbedaan proses kognitif yang digunakan dalam model
Problem Solving dan Problem Posing. Perbedaan
proses kognitif yang digunakan dapat dilihat pada
Tabel 9.
Berdasarkan Tabel 9, diketahui bahwa semua
tahap dalam Problem Posing mengandung kegiatan
berpikir tingkat tinggi. Pada tahap-tahap Problem
Solving, ada dua tahap yang termasuk kegiatan berpikir tingkat rendah dan tiga tahap yang termasuk
kegiatan berpikir tingkat tinggi. Siswa yang dibelajarkan dengan model Problem Posing membutuhkan
proses kognitif yang lebih tinggi dibandingkan siswa
yang dibelajarkan dengan Problem Solving (Mestre,
2002). Penggunaan model pembelajaran Problem
Posing dapat meningkatkan keterampilan siswa untuk berpikir tingkat tinggi (Norman dan Bakar, 2011;
Silver dkk., 1996; Kaberman dan Dori, 2007), sebab
siswa diajak untuk menciptakan suatu masalah dari
suatu kondisi tertentu. Model Problem Posing lebih
efektif untuk mengembangkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi dibandingkan model Problem Solving.
Hasil uji ANOVA Two Ways pada Tabel 8, menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar tingkat
tinggi siswa yang berkemampuan awal tinggi dengan
siswa yang berkemampuan awal rendah dengan taraf
signifikansi (0,030) > (0,050). Pada kelas Problem
Solvingyang ditunjukkan Tabel 5, siswa yang berkemampuan awal tinggi mempunyai rata-rata nilai hasil
belajar tingkat tinggi sebesar 65. Siswa yang berkemampuan awal rendah mencapai nilai hasil belajar
tingkat tinggi sebesar 54. Pada kelas Problem Posing, siswa yang berkemampuan awal tinggi mencapai nilai hasil belajar tingkat tinggi sebesar 71, sedangkan siswa yang berkemampuan awal rendah mencapai nilai 64.
Baik kelas Problem Solving maupun
kelas Problem Posing, hasil belajar tingkat tinggi siswa yang berkemampuan awal tinggi berbeda dengan
siswa yang berkemampuan awal rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan awal siswa mempengaruhi hasil belajar tingkat tinggi siswa.
Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan
oleh Shapiro (2004), bahwa kemampuan awal berpengaruh dalam hasil belajar siswa, termasuk hasil belajar tingkat tinggi. Dengan memperhatikan kemampuan awal siswa, maka guru dapat menentukan porsi
materi untuk siswa agar dapat mengembangkan proses kognitif sehingga siswa dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tingginya dengan baik. Siswa yang berkemampuan awal tinggi lebih mampu
mengembangkan proses kognitifnya sehingga lebih
mudah mengerjakan soal berpikir tingkat tinggi dibandingkan dengan siswa yang berkemampuan awal rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian McNamara
dkk. (1996), bahwa siswa yang berkemampuan awal
tinggi cenderung memperoleh hasil belajar tingkat
tinggi lebih baik dibandingkan dengan siswa yang berkemampuan awal rendah. Kemampuan awal siswa
mempengaruhi hasil belajar tingkat tinggi siswa.
Dari Tabel 8 diketahui bahwa tidak ada interaksi
antara model pembelajaran dengan kemampuan
awal terhadap hasil belajar tingkat tinggi siswa dengan taraf signifikansi (0,569) > (0,05). Hal ini berarti
Problem Solving maupun Problem Posing memiliki
potensi untuk melatih proses berpikir tingkat tinggi
pada siswa berkemampuan awal tinggi juga rendah.
Jika ditinjau dari kemampuan awal, siswa yang berkemampuan awal tinggi mempunyai nilai hasil belajar
tingkat tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang berkemampuan awal rendah. Kondisi tersebut
terlihat dalam kelas Problem Solving juga kelas
Problem Posing. Berdasarkan kondisi tersebut, maka Problem Solving dan Problem Posing sesuai
diterapkan pada siswa yang berkemampuan awal
tinggi dan kurang sesuai diterapkan pada siswa yang
berkemampuan awal rendah.
Langkah-langkah pembelajaran model Problem
Solving dan Problem Posing membutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang ditunjukkan pada
Tabel 9. Siswa yang berkemampuan awal tinggi lebih
mudah mengembangkan proses berpikir tingkat tingginya dibandingkan dengan siswa yang berkemampuan awal rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Nasution (1995), bahwa siswa yang mempunyai kemampuan awal tinggi lebih cepat untuk berpikir, memahami suatu konsep, dan menganalisis masalah tertentu dibandingkan dengan siswa yang berkemampuan awal rendah. Kondisi tersebut menyebabkan proses belajar dengan menggunakan Problem Solving
dan Problem Posing pada siswa yang berkemampuan awal tinggi berlangsung lebih efektif dibandingkan
siswa yang berkemampuan awal rendah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan dapat disimpulkan dalam materi kelarutan dan hasil kali kelarutan
bahwa model Problem Posing lebih efektif untuk
meningkatkan hasil belajar pemahaman dan hasil belajar tingkat tinggi siswa dibandingkan dengan model
Problem Solving; siswa berkemampuan awal tinggi
memperoleh hasil belajar pemahaman dan hasil belajar tingkat tinggi lebih baik dibandingkan dengan siswa
berkemampuan awal rendah; model Problem Solving dan Problem Posing lebih sesuai diterapkan pada
siswa yang berkemampuan awal tinggi.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka guru kimia SMA agar menggunakan model Problem Posing untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan dan seharusnya
memperhatikan kemampuan awal siswa untuk menentukan langkah-langkah dalam pembelajaran kimia,
sebab materi kimia berurutan.
DAFTAR RUJUKAN
Caccriatore, K.L., Amado, J., Evans, J.J. 2008. Connecting
Solubility, Equilibrium, and Perodicity in a Green,
Inquiry Experiment for the General Chemistry Laboratory. Journal of Chemical Education, 85(2):
251-253.
Cardellini, L. 2006. Fostering Creative Problem Solving in
Chemistry Through Group Work. Chemistry Education Research and Practice, 7:131-140.
Chua, P.H. & Yeap, B.H. 2009. Problem Posing Performance Grade 9 Students in Singapore On An Open
Ended Stimulus. National Institute of Education,
Nanyang Technological University, Singapore.
English, L.D. 1997. Seventh-Grade Problem Posing From
Open Ended Situations. Centre for Mathematics
and Science Education, 20:29-50.
Fadillah. 2011. Pengaruh Kemampuan Awal dan Kemampuan Berpikir Logis Hasil Belajar Matematika.
Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Fisika
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Kaberman, Z., dan Dori, Y.J. 2007. Question Posing, Inquiry, And Modeling Skills Of Chemistry Students
In The Case-Based Computerized Laboratory Environment. International Journal of Science and
Mathematics Education, 7:597-625.
Lipson, M.Y. 1982. Learning New Information From Text:
The Role of Prior Knowledge and Reading Ability.
Journal of Reading Behavior, 16(3): 243-261.
McNamara, D.S. 1996. Are Good Texts Always Better? Interactions of Text Coherence, Background Knowledge, and Levels of Understanding in Learning
From Text. Cognition and Instruction, 14(1):1-43
Mestre, J.P. 2002. Probing Adults’ Conceptual Understanding and Transfer of Learning via Problem Posing. Applied Development Psychology, 23:9-50.
Moses, B., Bjork, E., Goldenberg, P. 1993. Beyond Problem
Solving: Problem Posing. Brown dan Walter (Ed.),
Problem Posing: Reflections and Applications
(hlm 177-188). London: Lawrence Erlbaum Associates.
Nakhleh, M.B. & Mitchell, R.C. 1993.Concept Learning
versus Problem Solving. Journal of Chemical Education, 70(3):190-192.
Nasution. 1995. Teknologi Pendidikan. Bandung: Jammars.
Norman, I. & Bakar, M.N. 2011.Secondary School Students’ Problem Posing Strategies: Implications To
Secondary School Students’ Problem Posing Performances. Journal of Edupres, 1:1-8.
Novianti, D. 2011. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Cooperatif Problem Solving dan Cooperative Problem Posing terhadap Kualitas Proses
Kognitif dan Hasil Belajar untuk Pokok Bahasan
Termodinamika Kimia. Tesis tidak diterbitkan.
Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri
Malang Nurrenben & Pickering, M. 1987. Concept Learning versus
Problem Solving: Is There a Difference? Journal
of Chemical Education, 64(6):508-510.
Polya, G. 2004. How to Solve It (John Conway, Ed).United
State of America: Princenton University Press.
Rahayu, S. 2001. Kecenderungan Pembelajaran Kimia di
Awal Abad 21. Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Pengajarannya, 31(2):271-279.
Sawrey, B.A. 1990. Concept Learning versus Problem Solving: Revisited. Journal of Chemical Education,
67(3):253-254.
Setyowati, I. 2012. Pengaruh Variasi Media pada Cooperative Learning Cycle 5 E (CLC 5e) dan Kemampuan Awal terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Siswa dalam Materi Laju Reaksi. Tesis tidak
diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Shapiro, A.M. 2004. How Including Prior Knowledge As
A Subject Variable May Change Outcomes of
Learning Research. American Educational Research Journal, 41(1):159-189.
Silver, E.A., Mamona-Downs, Leung, Kenney, P.A. 1996.
Posing Mathematical Problems: An Exploratory
Study.Journal for Research in Mathematics Education, 27(3):293-309.
Stevens, K. E. 2000. Experimentation and Group Discussion as a Means of Determining Solubility Rules.
Journal Chemical Education, 77(3):327-328.
Svinicki, M. 1993. What They Don’t Know Can Hurtthem:
The Role of Prior Knowledge in Learning. The Professional & Organizational Development Network in Higher Education, 5(4):1-5.
Tacettin dan Canpolat. 2003. Student’s Understanding of
Solution Chemistry Concepts. Journal Chemical
Education, 80(11):1328-1332.
Zohar & Dori. 2003. Higher Order Thinking Skills and Low
Achieving Students: Are They Mutually Exclusive? The Journal of The Learning Sciences, 12(2):
145-181.
Zhuraida. 2010. Perbandingan antara Metode Problem
Solving dan Metode Problem Posing terhadap
Hasil Belajar Fisika (pada Konsep Zat dan Wujudnya di SMP Nusantara Plus Ciputat). Skripsi tidak
diterbitkan. Malang: Jurusan Fisika Universitas Islam Negeri Jakarta.
Zoller, U. & Pushkin, D. 2007.Matching Higher Order Cognitive Skills (HOCS) Promotion Goals with ProblemBased Laboratory Practice in a Freshman Organic
Chemistry Course. Chemistry Education Research
and Practice, 8(2):153-171.
0 Komentar untuk "Pengaruh Model Problem Solving dan Problem Posing serta Kemampuan Awal terhadap Hasil Belajar Siswa"