EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS


EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS

Heru Kurniawan 

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UM Purworejo 

Abstrak: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas penerapan model pembelajaran Problem Solving terhadap keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa pendidikan matematika FKIP UM Purworejo. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo Semester IV yang terdiri dari 6 kelas. Teknik sampling yang digunakan adalah Cluster Random Sampling sehingga diperoleh sampel penelitian yang terdiri dari 2 kelas. Instrumen penelitian mengggunakan tes pilihan ganda, data dokumen, angket, observasi, dan wawancara. Teknik analisis data menggunakan uji-t dengan uji prasyarat uji normalitas dan uji homogenitas variansi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa yang dikenai pembelajaran problem solving lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa yang dikenai pembelajaran tradisional. Kata kunci: Berpikir kritis, Problem Solving 

PENDAHULUAN 

Hasil Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) yang diikuti siswa kelas VIII sebagaimana dikutip dari http://edukasi.kompas.com menunjukkan bahwa prestasi matematika Indonesia di tahun 2011 berada di urutan ke-38 dengan skor 386 dari 42 negara. Skor Indonesia ini turun 11 poin dari penilaian tahun 2007. Berdasarkan pada laporan TIMSS yang disajikan dalam paparan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam uji publik kurikulum 2013 menunjukkan “Hanya 5% siswa Indonesia yang dapat mengerjakan soal-soal dalam kategori tinggi dan advance [memerlukan reasoning]. Dalam perspektif lain, 78% siswa Indonesia hanya dapat mengerjakan soal-soal dalam kategori rendah [hanya memerlukan knowing, atau hafalan]. Berdasarkan pada hal tersebut, mengidikasikan bahwa siswa di Indonesia masih terbiasa dengan low order thinking dan belum terbiasa dengan high order thinking. National Research Center for CTE (2010) menyebutkan bahwa “Developing higher order thinking skills in students is an important task for higher education. students who are competent analyzers, synthesizers, and evaluators become workers who are better prepared for the work challenges they will face”. Selanjutnya The Association of American Colleges and Universities (2010) melakukan survei yang menyebutkan bahwa “employers and found a majority thought analytical reasoning skills should receive more academic emphasis. Higher order thinking skills - analysis, synthesis and evaluation, prepare students to be learners, workers, and contributors to society”. 

Dengan demikian, keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan salah satu keterampilan yang harus mendapat perhatian serius dari guru untuk dibekalkan kepada para siswanya. Salah satu komponen berpikir tingkat tinggi yang banyak menjadi fokus pembelajaran Abad-21 adalah keterampilan berpikir kritis. Berpikir kreatif merupakan salah satu tingkat tertinggi seseorang dalam berpikir, yaitu dimulai ingatan (recall), berpikir dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Berpikir yang tingkatnya di atas ingatan (recall) dinamakan penalaran (reasoning).Sementara berpikir yang tingkatnya di atas berpikir dasar dinamakan berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Bagan mengenai hirarki berpikir adalah sebagai berkut

Banyak ahli yang mendefinisikan tentang berpikir kritis. Mayer dan Goodchild dalam Huitt W (1998) menyatakan bahwa Berpikir kritis merupakan sebuah proseskognitif yang sistematis dan aktif dalam menilai argumen-argumen, menilaisebuah kenyataan, menilai kekayaan dan hubungan dua atau lebih objek sertamemberikan bukti-bukti untuk menerima atau menolak sebuah pernyataan. Parapemikir-pemikir aliran kritis mengakui bahwa tidak hanya ada catu cara yangbenar atau tepat untuk memahami dan mengevaluasi argumen-argumen danbahwa semua usaha di atas tidak menjamin keberhasilannya. Mecpeck (1981) mendefinisikan berpikir kritis sebagai “skills and dispositions to appropriately use reflective skepticism”. Ennis (1989) mendefinisikan “Critical Thinking as reasonable reflective thinking focused on deciding what to believe or do” (Aizikovitsh). Dari definisi di atas, Ennis menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu keterampilan (skill) yang termuat tidak hanya dalam aspek intelektual saja namun juga mencerminkan perilaku. 

Selanjutnya Ennis memberikan pembagian berpikir kritis ke dalam keterampilan dispositions and abilities skill. Fathiaty Murtadho (2013: 533) menyatakan bahwa “Berpikir kritis adalah cara pengambilan keputusan tingkat tinggi. Selain itu, berpikir kritis adalah logis dan reflektif yang difokuskan pada pengambilan keputusan mengenai hal yang akan dipercaya atau dilakukan”. Definisi tersebut mengimplikasikan lima hal (1) berpikir logis dengan menggunakan alasan-alasan yang baik; (2) berpikir reflektif dengan secara sadar mencari dan menggunakan alasan-alasan yang baik; (3) berpikir terfokus, yaitu berpikir untuk tujuan tertentu; (4) pengambilan keputusan mengenai hal yang akan dipercaya atau diyakini dengan mengevaluasi pernyataan atau perbuatan; (5) kecenderungan dan kemampuan, yaitu kemampuan kognitif dan kecenderungan untuk menggunakan kemampuan tersebut (Nitko,1996: 65-66). Cockcroft (1982) menyatakan bahwa pengajaran matematika harus melibatkan aktivitas-aktivitas berikut: (1) Eksposisi atau pemaparan guru (exposition), (2) Diskusi di antara siswa sendiri, ataupun antara siswa dengan guru (discussion), (3) Kerja praktek (practical work), (4) Pemantapan dan latihan pengerjaan soal (consolidation), (5) Pemecahan masalah (problem solving), dan (6) Penyelidikan (investigation). Praktek pembelajaran tersebut dapat terjadi apabila guru menyajikan “masalah/ problem” dalam kegiatan pembelajaran matematika di kelas. Mayer (1992: 5) mendefinisikan istilah “masalah/ problem” sebagai “problem should consist of three ideas that (1) the problem is presently in some state, but (2) its is desired that it be in another state, and (3) there is no direct, obvisious way to accomplish the change”. Sesuatu dikatakan masalah jika masalah tersebut dinyatakan dalam suatu bentuk tertentu tetapi dapat diubah ke dalam bentuk yang lain, selanjutnya ia tidak memiliki prosedur yang langsung dapat dipakai untuk menyelesaikannya. Krulik dan Rudnick (1988: 2) mendefinisikan masalah/ problem sebagai berikut “a problem is a situation, quantitative or otherwise, that confronts an individual or group of individuals, that requires resolution, and for which the individual sees no apparent path to obtaining the solution”. Suatu masalah merupakan situasi, yang dapat dihitung maupun sebaliknya, yang menghadapkan siswa atau kelompok siswa, yang membutuhkan pemecahan, dimana siswa tidak mampu melihat jalan/ prosedur penyelesaian yang jelas untuk menghasilkan jawaban. Dalam proses pembelajaran matematika di kelas akan muncul beberapa istilah sebagai berikut: 1) pertanyaan/ question, 2) latihan/ exercise, dan 3) masalah/ problem. 

Yang dimaksud dengan pertanyaan adalah suatu situasi yang membutuhkan penyelesaian dengan cara memanggil kembali ingatan yang telah diperoleh sebelumnya. Latihan merupakan suatu situasi yang melibatkan latihan/ drill dan praktik untuk menguatkan keterampilan belajar siswa atau algorithm. Sedangkan masalah merupakan situasi yang memerlukan gagasan dan mensintesis pengetahuan yang telah diterima sebelumnya untuk diselesaikan (Krulik dan Rudnick, 1988: 2). Becker & Shimada dalam McIntosh, R. & Jarret, D., (2005: 5) menegaskan bahwa “the problem should be nonroutine, in that the student percieves the problem as challenging and unfamiliar, yet not insurmountable”. Sesuatu dikatakan sebagai masalah apabila ia dinyatakan dalam masalah yang tidak rutin/ biasa yang mana siswa akan menganggap masalah tersebut sebagai suatu tantangan dan hal yang tidak biasa, namun tetap dapat diselesaikan/ diatnggulangi. Pendapat tak jauh berbeda disampaikan oleh Cooney, et al. (1975: 242) yang menyatakan bahwa “... for a question to be a problem, it must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to the student”. Suatu pertanyaan dapat dikatakan sebagai masalah apabila pertanyaan tersebut harus memberikan tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan beberapa prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Salah satu pembelajaran yang dapat mendorong keterampilan berpikir kritis matematis siswa dengan menyajikan masalah matematika/ mathematical problem adalah pembelajaran pemecahan masalah (problem solving). The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 1989) menyatakan “Problem solving should be the central focus of the mathematics curriculum. As such, it is a primary goal of all mathematics instruction and an integral part of all mathematical activity. Problem solving is not a distinct topic but a process that should permeate the entire program and provide the context in which concepts and skills can be learned”. Hal ini sejalan dengan Gardiner (1987:23) yang menyatakan bahwa “Most of us learn mathematics as a collection of standard techniques which are used to solve standard problems in predictable contexts”. Hal ini mengatakan bahwa kebanyakan siswa belajar matematika untuk mengetahui langkah standar untuk menyelesaikan suatu masalah yang telah diajarkan saja. Namun ketika siswa dihadapkan pada masalah yang belum pernah dimunculkan, maka siswa akan cenderung mudah menyerah dan tidak mau melanjutkan pekerjaannya. Holmes menyatakan bahwa ”Latar belakang atau alasan seseorang perlu belajar memecahkan masalah matematika adalah adanya fakta dalam abad dua puluh satu ini  bahwa orang yang mampu memecahkan masalah hidup dengan produktif” (Sri Wardhani, Sapon Suryo Purnomo, dan Endah Wahyuningsih, 2010: 7).

 Selanjutnya Holmes mengatakan, ”orang yang terampil memecahkan masalah akan mampu berpacu dengan kebutuhan hidupnya, menjadi pekerja yang lebih produktif, dan memahami isu-isu kompleks yang berkaitan dengan masyarakat global”. Dengan demikian kemampuan memecahkan masalah menjadi tujuan utama dari belajar matematika di antara tujuan yang lain. Polya dalam http://www.kangguru.wordpress.com menyajikan kerangka kerja pemecahan masalah sebagai berikut: 1) Memahami masalahnya, 2) Membuat rencana pemecahan masalah, 3) Melaksanakan rencana, dan 4) Menafsirkan dan mengecek hasilnya. Langkah-langkah tersebut dapat ditunjukkan pada gambar sebagai berikut. 

Pengalaman belajar yang diperoleh siswa dari proses pemecahan masalah akan sangat besar. Siswa akan diajarkan dan dilatih untuk memiliki kesabaran, ketekunan, berani mengambil resiko, dan kemampuan kerja sama dengan orang lain. Dengan demikian, akan tercipta lingkungan pembelajaran yang positif di kelas sehingga akhirnya kemampuan ini akan dapat diaplikasikan dalam memecahkan masalah dalam kehiduoan nyata. Hal ini disebutkan oleh O’connel (2000), Heppner dan Petersen (1992) menyebutkan bahwa “problem solving requires patience, persistence, risk taking, and cooperation, therefore a positife classroom climate be provided”( Demirel, Dermana, dan Karagedika, 2015). Selanjutnya Heppner meyakini bahwa “Applied problem solving skills are critical to solve real-life problems”. Dengan demikian, pembelajaran pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk meningkatkan/ memperbaiki keterampilan berpikir kritis siswa/ mahasiswa .

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu (quasi experimental research), karena peneliti tidak mungkin untuk mengontrol semua variabel yang relevan. Manipulasi variabel dalam penelitian ini dilakukan pada variabel bebas yaitu model pembelajaran Problem Solving yang dikenakan pada kelas eksperimen dan pembelajaran tradisional pada kelas kontrol. Sedangkan variabel terikat adalah keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester IV Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo yang terdiri dari 6 kelas. Teknik sampling yang digunakan adalah Cluster Random Sampling. Sampel penelitian ini terdiri dari 2 kelas. Instrumen penelitian mengggunakan tes, data dokumen, angket, observasi, dan wawancara. Instrumen penelitian terlebih dahulu dianalisis untuk mengetahui tingkat validitas dan indeks reliabilitasnya. Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji keseimbangan dengan uji-t. Teknik analisis data (uji efektifitas model) menggunakan uji-t dengan uji prasyarat uji normalitas dan uji homogenitas variansi. 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 

Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji keseimbangan. Uji keseimbangan dilakukan setelah uji prasyarat berupa uji normalitas dan uji homogenitas variansi telah terpenuhi melalui pengambilan data kemampuan awal pada nilai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Geometri Analitik Datar. Diperoleh hasil uji keseimbangan sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut.


Berdasarkan pada hasil keputusan uji di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelas eksperimen dan kontrol berada dalam kondisi yang seimbang, dengan kata lain kemampuan awal mahasiswa adalah setara. Dengan demikian, perbedaan yang nantinya ditimbulkan dari hasil penelitian benar-benar disebabkan oleh pemberian perlakukan yang dberikan. Setelah dilakukan uji keseimbangan, kedua kelas diberikan perlakukan pembelajaran dengan pembelajaran problem solving pada kelas eksperimen dan pembelajaran tradisional pada kelas kontrol. Selanjutnya diberikan tes dengan rangkuman data hasil keterampilan berpikir kritis sebagai berikut. Data yang diperoleh dari hasil tes keterampilan berpikir kritis matematis ditampilkan sebagai berikut.

Selanjutnya, dilakukan uji prasyarat hipotesis berupa uji normalitas dan uji homogenitas variansi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kedua prasyarat uji telah terpenuhi. Selanjutnya, dilakukan uji hipotesis dengan uji-t. Hipotesis statistik yang diuji adalah sebagai berikut. 

H0 : µ1 < µ2 keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa yang dikenai pembelajaran problem solving dan investigasi berbantuan Google Classroom tidak lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa yang dikenai pembelajaran tradisional berbantuan Google Classroom. 

H1 : µ1 > µ2 keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa yang dikenai pembelajaran problem solving dan investigasi berbantuan Google Classroom lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa yang dikenai pembelajaran tradisional berbantuan Google Classroom. Hasil uji-t dapat ditunjukkan sebagai berikut.


 Dari hasil analisis data tersebut menunjukkan bahwa H0 ditolak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa yang dikenai pembelajaran problem solving lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis matematis mahasiswa yang dikenai pembelajaran tradisional.

Pada pembelajaran dengan model problem solving dan investigasi, mahasiswa didorong untuk menggunakan seluruh materi prasyarat yang telah diperoleh, mendorong berpikir kritis, menemukan berbagai alternatif cara menyelesaikan masalah, hingga mampu mengaitkan materi dengan konstruk yang ada di sekitarnya. Berbagai kegiatan tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan/ memperbaiki prestasi dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan yang harus dibekalkan kepada siswa/ mahasiswa untuk mengahadapi persaingan/ terlibat dalam pekerjaan dimasa yang akan datang. Oleh karena itu penting untuk menyajikan pembelajara yang tepat untuk mendorong peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa/ mahasiswa. Hal ini sebagaimana juga diunkapkan oleh Duron, Limbach, dan Waugh (2006) yang menyatakan It is important that teachers give thoughtful consideration to current instructional methods and to the personal beliefs that drive them prior to contemplating this particular approach to teaching. Implementing critical thinking through this framework clearly requires a commitment to active, student-centered learning which, at least initially, may be somewhat unfamiliar and uncomfortable to both students and teachers. Berdasarkan pada hasil tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa, penerapan model problem solving efektif diterapkan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. 

SIMPULAN DAN SARAN 

Paradigma pembelajaran telah mengarah pada diberlakukannya pembelajaran aktif. Pembelajaran yang melibatkan siswa/ mahasiswa, baik secara fisik maupun mental. Mengikuti paradigma tersebut, maka diperlukan adanya inovasi pembelajaran dan penerapan model pembelajaran demi tercapainya keterampilan yang dibutuhkan di abad21, salah satunya keterampilan berpikir kritis. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah pembelajaran Problem Solving. Pada penerapan model tersebut, siswa/ mahasiswa didorong untuk menggunakan seluruh materi prasyarat yang telah diperoleh, mendorong berpikir kritis, menemukan berbagai alternatif cara menyelesaikan masalah, hingga mampu mengaitkan materi dengan konstruk yang ada di sekitarnya. Berbagai kegiatan tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan/ memperbaiki prestasi dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa.

Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas, maka perlu kiranya guru/ dosen untuk memperhatikan betapa pentingnya keterampilan berpikir kritis ditanamkan pada diri siswa/ mahasiswa. Penerapan model pembelajaran yang tepat mutlak diperlukan agar terwujud siswa/ mahasiswa yang memiliki kompetensi di abad-21 ini. 

DAFTAR PUSTAKA

 Anonim. 2007. Teknik Pemecahan Masalah Ala Polya.Diambil pada hari Minggu, 6 Desember 2010 http://kangguru.wordpress.com/2007/teknik-pemecahan-masalahala-g-polya/pada pukul 13.00 WIB. Bastow, B. Hughes, et al. 1984. Another 20 Mathematical Investigational Work. Perth: The Mathematical Association of Western Australia (MAWA). Budiyono. 2015. Pengantar Metode Statistika Multivariat. Surakarta: UNS Press Einav Aizikovitsh & Miriam Amit.An innovative model for developing critical thinking skills through mathematical education .Department of Science Education, Ben Gurion University of the Negev Israel. Ennis, R.H. (1989). A Taxonomy of critical thinking. Dispositions and abilities. In J. B. Baron, and R. J. Sterngerg (Eds.), Teaching for Thinking, (pp. 9-26). New York: Freeman. Fathiaty Murtadho . 2013. Berpikir Kritis dan Strategi Metakognisi: Alternatif Sarana Pengoptimalan Latihan Menulis Argumentasi .2nd International Seminar on Quality and Affordable Education (ISQAE 2013). Huitt, W. (1995).Success in the information age: A paradigm shitt. Valdosta, GA : Valdosta diambil dari http://chiron.valdosta.edu/whuitt/context/infoage. html diambil tanggal 3 September 2000. Grimison, L. dan Dawe, L. (2000).Report Supporting for the Advanced and Intermediate Courses of the NSW Mathematics Years 9–10 Syllabus. Dalam Literature Review: Report on Investigational Tasks in Mathematics in Years 9–10 for Advanced and Intermediate Students. New South Wales : University of New South Wales. [online]. Tersedia dalam http://www.boardofstudies.nsw.edu.au/manuals/pdf_doc/ review_9_10_ math.pdf. Diambil pada 05-11-2008.Lang, H.R., dan Evans, D.N.,. 2006. Models, Strategies, and Methodes for Effective Teaching. United States: Pearseon Education, Inc. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2013. Paparan Uji Publik Kurikulum 2013. NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standards For School Mathematic. Virginia: NCTM. Singapore Ministry of Education (2004).Assessment Guide to Primary Mathematics. Singapore: Singapore Ministry of Education Sri Wardhani, Sapon Suryo Purnomo, dan Endah Wahyuningsih. 2010. Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika di SD. Kementerian Pendidikan Nasional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan: P4TK Matematika Partnership for 21st Century Skill. 2007. Developing a Framework for 21st Century Learning. San Fransisco. Duron, R., Limbach, B., and Waugh, W. 2006. Critical Thinking Framework For Any Discipline. Diambil dari International Journal of Teaching and Learning in Higher Education Volume 17, Number 2, 160-166 ISSN. 1812-9129. www.wikipedia.com/google_classroom .

0 Komentar untuk "EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS"

Back To Top