Peningkatan Hasil Belajar IPA pada Model Pembelajaran Creative
Problem Solving (CPS)
Darmawan Harefa, Tatema Telaumbanua, Murnihati Sarumaha, Kalvintinus Ndururu,
dan Mastawati Ndruru
Sekolat Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Nias Selatan, Indonesia
E-mail Corenspondensi: harefadarmawan@gmail.com
Abstrak
Metode penelitian ini adalah metode quasi eksperimen yang bersifat
kuantitatif yaitu kelas eksperimen digunakan model Creative Problem
Solving sedangkan dikelas kontrol digunakan metode konvensional. Hasil
penelitian yang diperoleh bahwa dikelas eksperimen dengan melakukan
pretest diperoleh rata-rata hasil belajar 62,65 dan postest diperoleh ratarata hasil belajar 84,61. Sedangkan dikelas kontrol pada pretest diperoleh
rata-rata hasil belajar 64,54 dan postest diperoleh rata-rata hasil belajar
73,70 yang artinya model Creative Problem Solving lebih berpengaruh
pada hasil belajar. Kesimpulan penelitian berdasarkan perhitungan uji
hipotesis diketahui thitung = 5,216 lebih besar dari ttabel = 1,667 dengan
signifikan 5%. Karna thitung > ttabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang
artinya “ada pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving
terhadap hasil belajar kognitif siswa”.
Abstract
This research method is quasi-experimental method that quantitative that
experimental class used the Creative Problem Solving model while the
control class uses the conventional method. The results obtained the
experimental class by conducting pretest obtained average learning outcome
of 62.65 and posttest obtained average learning outcome of 84.61. While
the control class in pretest obtained average of 64.54 learning outcomes and
posttest obtained an average learning outcome of 73.70 which means that
Creative Problem Solving model has more influence on learning outcomes.
The conclusion of the research based on the calculation of the hypothesis
test known that t = 5.216 is greater than ttable = 1.667 with a significant 5%.
Because tcount > ttable then Ha is accepted and Ho rejected which means
"there influence of Creative Problem Solving learning model on student
cognitive learning outcomes".
PENDAHULUAN
Proses pembelajaran merupakan rangkaian kegiatan yang direncanakan oleh
guru agar siswa mencapai kompetensi yang diharapkan. Keterlibatan siswa
dalam pembelajaran IPA akan menciptakan pengalaman yang bermakna
(Sugiyarto, 2008). Kegiatan pembelajaran terhadap siswa dapat terlaksana dengan
baik dan tepat, seorang guru harus memahami bagaimana kepribadian siswa
khususnya yang masih belum termotivasi untuk belajar. Pemahaman secara
mendalam tersebut diperlukan agar dalam pelaksanaan dan pengelolaan
pembelajaran yang dipimpin guru tidak salah jalan, tidak salah arah dan tepat
sasaran. Hal ini penting karena peran guru sebagai pengelola peserta didik di mana
dia sebagai manusia yang memiliki potensi, keinginan, kemauan, kemampuan yang
berbeda dari yang lain.
Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada lingkungan belajar yang diselenggarakan secara formal Harefa D, Telaumbanua T, Sarumaha M, Ndururu K, & Ndururu M/Musamus Journal of
Primary Education (1) (2020) disekolah-sekolah bertujuan untuk mengarahkan perubahan diri pada anak didik
secara terencana, baik dalam aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap
(Anjarsari, 2014). Luas dan kompleksnya pelaksanaan pembelajaran menuntut
guru dapat menguasai berbagai pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang
berkaitan erat dengan peran-peran tersebut.
Hasil belajar berkaitan dengan
pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai tujuan khusus yang
direncanakan. tugas utama guru dalam kegiatan ini adalah merancang instrumen
yang dapat mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa dalam mencapai
tujuan pembelajaran. Sedangkan tugas guru sebagai desainer adalah menentukan
hasil belajar selain menentukan instrumen juga perlu merancang cara
menggunakan instrumen beserta kriteria keberhasilan. Hal ini perlu dilakukan,
sebab dengan kriteria yang jelas dapat ditentukan apa yang harus dilakukan siswa
dalam mempelajari isi atau bahan pelajaran (Hermansyah, A., K., Tembang, Y.,
Purwanty, 2019).
Belajar merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap individu untuk
mencapai suatu perubahan positif dan ditunjukkan pada taraf kehidupan.
Menurut (Budiningsih, 2005) “Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon harus berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati dan dapat diukur”. (Lufri, 2010) mengemukakan beberapa pengertian
belajar yang umum digunakan, sebagai berikut: 1) Belajar didefenisikan sebagai
modifikasi atau peneguhan perilaku melalui pengalaman. Berdasarkan pengertian
ini, belajar bukan suatu hasil dan bukan pula suatu tujuan tetapi merupakan
suatu proses atau suatu aktivitas. 2) Belajar adalah suatu proses perubahan
perilaku individu yang terjadi akibat interaksi dengan lingkungan. 3) Belajar adalah
merupakan perpaduan kedua pengertian di atas, yaitu merupakan suatu proses
atau aktivitas individu dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya sehingga
terjadi pengalaman belajar.
Belajar adalah proses atau usaha yang dilakukan setiap individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku baik dalam bentuk pengetahuan,
keterampilan maupun sikap dan nilai yang positif sebagai pengalaman untuk
mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari (Rahayu, 2019).
Kegiatan belajar tersebut ada yang dilakukan di sekolah, maupun diluar sekolah.
Belajar merupakan kegiatan individu untuk memperoleh pengetahuan, perilaku
dan ketrampilan dengan cara mengolah bahan belajar. (Slameto, 2010)
menyatakan bahwa belajar adalah “suatu proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.
Menurut (Rusman, 2014) bahwa: “Belajar pada hakikatnya adalah
proses interaksi terhadap semua situasi yang ada disekitar individu. Belajar dapat
dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses pembuat
melalui berbagai pengalaman”. Menurut (Sardiman, 2011) “dalam arti luas, belajar
dapat diartikan sebagai kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi
seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit, belajar dapat diartikan sebagai usaha
penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagaian kegiatan menutu
terbentuknya kepribadian seutuhnya”.
Proses pembelajaran diartikan sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang
mengkondisikan seseorang belajar. Dengan demikian pembelajaran lebih
difokuskan agar siswa dapat belajar secara optimal melalui berbagai kegiatan aktif
dan kreatif yang dilakukan pendidik. (Dimyati dan Mudjiono, 2009) menyatakan
bahwa: “Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain
instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada
penyediaan sumber belajar”. (Sagala, 2005) menyatakan bahwa: “Pembelajaran
ialah membelajarkan siswa dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori
belajar merupakan penentu pada keberhasilan pendidikan”. Menurut (Shoimin,Harefa D, Telaumbanua T, Sarumaha M, Ndururu K, & Ndururu M/Musamus Journal of
Primary Education 3 (1) (2020)
3
2014), pembelajaran merupakan suatu sistem yang memiliki peran sangat dominan
untuk mewujukan kualitas pendidikan. (Huda, 2014) menyatakan bahwa:
“pembelajaran dapat diartikan sebagai proses modifikasi dalam kapasitas manusia
yang bisa dipertahankan dan ditimgkatkan levelnya”.
Salah satu bentuk pembelajaran adalah pemrosesan informasi. Hal ini dapat
dianalogikan dengan pikiran dan otak kita yang berperan layaknya komputer di
mana input dan penyimpanan informasi di dalamnya. (Sanjaya, 2009)
mengemukakan beberapa peran guru dalam proses pembelajaran yakni:
1) Guru
sebagai sumber belajar. Peran sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan
penguasaan materi pembelajaran.
2) Guru sebagai fasilitator. Guru berperan dalam
memberi pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses
pembelajaran.
3) Guru sebagai pengelola. Guru berperan menciptakan iklim
belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman.
4) Guru sebagai
demonstrator. Guru sebagai demonstrator adalah guru berperan untuk
mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih
mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan.
5) Guru sebagai
pembimbing.
Peran guru sebagai pembimbing adalah membimbing siswa agar dapat
menemukan berbagai potensi yang dimilikinya sebagai bekal hidup mereka,
membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas perkembangan
mereka sehingga ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai
manusia ideal yang menjadi harapan setiap orang tua dan masyarakat.
6) Guru
sebagai motivator.
Guru dituntut kreaktif membangkitkan motivasi belajar siswa
yaitu:
(a) Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
(b) Membangkitkan minat siswa.
(c) Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
(d) Diberilah pujian yang
wajar terhadap setiap keberhasilan siswa.
(e) Berikan penilaian.
(f) Berilah
komentar terhadap hasil pekerjaan siswa.
(g) Ciptakan persaingan dan kerja sama.
7) Guru sebagai evaluator.
Guru berperan untuk mengumpulkan data atau
informasi tentang keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan.
Meyer dalam (Trianto, 2010) menyatakan bahwa secara kaffah model
dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk
mempresentasikan sesuatu hal, sesuatu yang nyata dan dikonversi untuk sebuah
bentuk yang lebih konprehensif. (Suprijono, 2010) berpendapat bahwa “model
pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas maupun tutorial”. (Rusman, 2014) mengungkapkan bahwa
model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya guru boleh memilih
model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan
pembelajarannya. Menurut Arends dalam (Suprijono, 2010) menyatakan bahwa
“model pembelajaran dapat didefenisikan sebagai kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar”.
Hasan dalam (Isjoni, 2014) menyatakan bahwa dalam prakteknya semua
model pembelajaran bisa dikatakan baik jika memenuhi prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1) Semakin kecil upaya yang dilakukan guru semakin besar aktivitas
belajar siswa, maka hal itu semakin baik.
2) Sedikit waktu yang diperlukan guru
dalam mengaktifkan siswa untuk belajar juga semakin baik.
3) Sesuai dengan cara
belajar siswa yang dilakukan.
4) Dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru.
5)
Tidak ada satupun metode yang paling sesuai untuk segala tujuan, jenis materi,
dan proses belajar yang ada. Kardi dan Nur dalam (Trianto, 2010) juga
mengemukakan ciri-ciri model pembelajaran yaitu: a) Rasional teoritis logis yang
disusun oleh para pencipta atau pengembangnya. b) Landasan pemikiran tentang
apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai). c)
Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan
dengan berhasil. d) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran Harefa D, Telaumbanua T, Sarumaha M, Ndururu K, & Ndururu M/Musamus Journal of
Primary Education 3 (1) (2020)
4
itu dapat tercapai.
Menurut (Harefa, 2020) Crative Problem Solving adalah suatu cara berpikir
dan bertindak dalam memecahkan suatu permasalahan. Kreatif (creative) adalah
suatu ide dasar yang bersifat asli (orisinil), inovatif, efektif, dan komplek untuk
menghasilkan suatu solusi yang memiliki nilai dan relevansi. Masalah (problem)
adalah kesenjangan antara situasi nyata dengan kondisi yang diinginkan, situasi
yang memiliki tantangan, dan mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk
menemukan jawaban. Pemecahan (solving) dalam hal ini pemecahan masalah
adalah penemuan jawaban dari masalah yang dihadapi. Jadi creative problem
solving adalah suatu proses, metode atau sistem untuk mendekati suatu masalah
dengan cara yang efektif dan efisien. Sedangkan menurut (Harefa, 2020) model
Creative problem Solving (CPS) adalah model pembelajaran yang melakukan
pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti
dengan penguatan keterampilan.
Menurut (Harefa, 2020) keistimewaan dari model pembelajaran creative
problem solving adalah menempatkan siswa pada situasi yang nyata, karena
masalah yang dikemukaan merupakan tipe masalah, komplek dan bermakna,
dengan pemecahan yang kreatif dari siswa. Hal ini sejalan dengan riset di bidang
pendidikan yang menunjukkan bahwa sebuah teknik yang efektif untuk
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah (problem solving) adalah
dengan membiarkan siswa untuk menghadapi masalah-masalah yang terkait
dengan isu-isu kompleks (ill-defined problem) sesering dan sedini mungkin yang
terkait dengan bidangnya (Harefa, 2018). Siswa dapat bekerja dalam tim
(kelompok), berkolaborasi dan menunjukkan sikap yang profesional dalam
mengkonfrontasikan masalah dengan situasi nyata yang seluas-luasnya
Pembelajaran konvensional atau sering juga disebut pembelajaran tradisional
merupakan suatu pembelajaran yang penekanannya lebih cenderung pada metode
ceramah. (Djamarah, 2006) menyatakan bahwa: “metode ceramah adalah metode
yang boleh dikatakan metode tradisional, karena sejak dulu metode ini telah
dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam
proses belajar mengajar”.
Saat ini pembelajaran konvensional adalah suatu model
pembelajaran yang paling banyak dikritik, karena ini dipandang sebagai
pembelajaran yang tidak memberikan keleluasaan kepada siswa untuk
beraktivitas.
Pada pembelajaran konvensional cenderung pada belajar hafalan yang
mentolerir respon-respon yang bersifat konvergen, dan menekankan pada informasi
konsep, latihan soal dalam tes. (Suryosubroto, 2009) menyatakan bahwa “model
pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran tradisional dengan metode
ceramah. Dalam pembelajaran, model pembelajaran konvensional ditandai dengan
ceramah yang diiringi dengan penjelasan serta pembagian tugas dan latihan.
Penilaian proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa dapat diketahui dari
hasil evaluasi. Menurut (Hamalik & Oemar Hamalik, 2012) “evaluasi merupakan
penilaian terhadap data yang dikumpulkan melalui kegiatan asesmen”. Proses
evaluasi pada umumnya memiliki tahapan-tahapannya sendiri. Walau tidak selalu
sama, tetapi yang lebih penting adalah bahwa prosesnya sejalan dengan fungsi
evaluasi itu sendiri. Sistem pembelajaran yang baik seharusnya dapat membantu
siswa mengembangkan diri secara optimal serta mampu mencapai tujuan-tujuan
belajarnya. Model dan variasi mengajar guru juga sangat menentukan kualitas dari
pembelajaran yang dihasilkan. Kebiasaan umum guru dalam cara mengajar
hanyalah ceramah. Pada cara mengajar dengan metode ceramah, guru hanya
mengaktifkan ingatan jangka pendek siswa, kurang melatih tingkat ketelitian siswa
dan tidak memotivasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran, sehingga siswa tidak
memahami lebih mendalam apa yang telah diajarkan. Model pembelajaran Creative
Problem Solving juga merupakan variasi dari pembelajaran peecahan masalah Harefa D, Telaumbanua T, Sarumaha M, Ndururu K, & Ndururu M/Musamus Journal of
Primary Education 3 (1) (2020)
5
(Problem Solving) melalui teknik sistematik dalam mengorganisasi gagasan kreatif
untuk menyelesaikan suatu permasalahan, dengan menggunakan model
pembelajaran ini diharapkan dapat membangkitkan kreativitas siswa dalam
mempelajari IPA sehingga dapat memperoleh manfaat yang maksimal baik dari
proses maupun hasil belajarnya.
Pada model Creative Problem Solving siswa
dibekali teknik untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, Creative Problem Solving
merupakan strategis yang ditunjukan untuk siswa dalam memahami, memilih
pendekatan dan strategi pemecahan, serta menyelesaikan rencana (model) untuk
pemecahan masalah sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
METODE
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 1 Telukdalam menggunakan
metode penelitian quasi eksperimen dengan paradigma kuantitatif. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan (treatment) variabel bebas (model
pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)) terhadap variabel terikat (hasil
belajar) dan berupaya membuktikan kebenaran teori-teori tentang model
pembelajaran Creative Problem Solving (CPS). Ada beberapa bentuk desain
penelitian eksperimen, namun dalam penelitian ini yang digunakan adalah PretestPosttest Control Group Design, seperti tertera pada Tabel 1. berikut:
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar IPA
dalam penelitian ini berupa tes objektif (pilihan ganda) dengan satu jawaban benar
yang berjumlah 30 butir soal. Sumber data adalah data primer yang diperoleh
langsung dari objek penelitian berupa hasil belajar kognitif siswa. Tes hasil belajar
ini terdiri dari tes awal dan tes akhir. Tes awal dan tes akhir sama, hanya saja
pada penyusunan butir soal diacak. Tes awal (pre-test) diberikan kepada sampel
penelitian sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran Creative Problem Solving dan model pembelajaran konvensional.
Sedangkan tes akhir (post-test) merupakan kegiatan akhir yang dilakukan kepada
seluruh sampel. Tes akhir ini diberikan kepada sampel penelitian setelah proses
pembelajaran dilakukan.
Setelah digunakan sebagai instrumen penelitian terlebih
dahulu akan di uji cobakan. Uji coba instrumen dilakukan pada siswa SMP BNKP
Swasta Telukdalam untuk keperluan uji kelayakan tes, yang terdiri dari:
(1) Uji
validitas tes;
(2) Uji reliabilitas tes;
(3) Uji tingkat kesukaran tes; dan
(4) Uji daya
pembeda tes dan analisi fungsi distraktor.
Dalam proses pengumpulan data pada penelitian ini, peneliti menggunakan
teknik tes (Harefa, 2019).
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan Harefa D, Telaumbanua T, Sarumaha M, Ndururu K, & Ndururu M/Musamus Journal of
Primary Education 3 (1) (2020)
6
data, sebagai berikut: 1) Sebelum kegiatan pembelajaran, kepada kelas eksperimen
dan kelas kontrol diberikan tes awal. 2) Berdasarkan hasil tes awal di kelas
eksperimen dan kelas kontrol dilakukan uji normalitas, jika berdistribusi normal,
maka langsung dilakukan uji homogenitas. Jika tidak homogen, maka ditinjau
ulang penarikan sampel penelitian dan jika homogen maka dilanjutkan dengan
pemberian perlakuan berupa proses pembelajaran. 3) Setelah dilaksanakan proses
pembelajaran, kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan tes akhir. 4)
Berdasarkan hasil tes akhir pada kelas eksperimen dilakukan pengujian hipotesis
menggunakan statistik parametrik uji t. 5) Pada uji normalitas hasil tes awal,
jika tidak berdistribusi normal, maka langsung dilakukan pengujian hipotesis
menggunakan statistik non parametrik. 6) Uji homogenitas dilakukan berdasarkan
hasil tes awal pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Jika tidak homogen, maka
pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik non parametrik. Jika
homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik
parametrik uji t independen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan hasil uji coba instrumen penelitian dalam bentuk pilihan ganda
di SMP Swasta BNKP Telukdalam, maka dilakukan perhitungan uji validitas tes, uji
reliabilitas tes, tingkat kesukaran tes, daya pembeda tes, dan analisis fungsi
distraktor sebagai berikut. Uji validitas bertujuan untuk mengukur tingkat
kehandalan dan kesahihan setiap item instrumen yang akan digunakan untuk
mengetahui apakah setiap item dari tes valid atau tidak. Berdasarkan hasil yang
diperoleh dari tes yang dilakukan, maka dapat dilakukan penghitungan uji
validitas tes dengan menggunakan rumus produk moment (Hamzah, 2013).
Perhitungan validitas pada item nomor 1 sebagai berikut:
Untuk N = 34 pada taraf signifikan 5% (α= 0.05) diperoleh rtabel = 0.339.
Karena rxy > rtabel, maka tes item nomor 1dinyatakan valid. Dengan berpedoman
pada tabel persiapan penghitungan uji validitas dan dengan mengikuti langkahlangkah seperti penghitungan validitas item nomor 1, maka item nomor 2 sampai
item nomor 30 dapat dilakukan dan hasilnya tertera pada Tabel 2. berikut:
Berdasarkan hasil perhitungan validitas instrumen untuk item nomor 1
sampai item 30 diketahui bahwa rhitung > rtabel sehingga dapat disimpulkan bahwa
semua item instrumen dinyatakan valid. Untuk mengetahui realiabilitas tes uji
coba instrumen dalam bentuk pilihan ganda, digunakan rumus spearman brown
dengan metode belah dua (ganjil dan genap). Sebelum melakukan uji reliabilitas,
terlebih dahulu dicari nilai r sehingga benar-benar mengukur apa yang seharusnya
diukur dengan menggunakan rumus product moment (Hamzah, 2013) sebagai
berikut:
Setelah diperoleh nilai r, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji
reliabilitas dengan menggunakan rumus spearman brown sebagai berikut :
Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas di atas, diperoleh nilai Rhitung
sebesar 0,900. Jika dibandingkan dengan Rtabel sebesar 0,339 maka Rhitung > Rtabel.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tes uji coba instrumen reliabel atau
konsisten. Untuk mengetahui apakah tingkat kesukaran pada kisi-kisi tes sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya di sekolah maka dilakukan penghitungan tingkat
kesukaran berdasarkan hasil uji coba instrumen. Adapun hasil penghitungan
tingkat kesukaran tes untuk item nomor 1, sebagai berikut:
Dengan melakukan perhitungan yang sama maka item nomor 2 sampai item
30 dapat diperoleh. Perhatikan hasil perhitungan keseluruhan tingkat kesukaran
di bawah ini lewat Tabel 3 :
Berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran tes item nomor 1 sampai item
nomor 30 ternyata tingkat kesukaran dari setiap item tes hasil uji coba instrumen
tes hasil belajar sesuai dengan tingkat kesukaran. Untuk mengetahui apakah
setiap item tes dapat membedakan siswa yang pandai dengan siswa yang kurang
pandai maka dilakukan penghitungan daya pembeda berdasarkan hasil uji coba
instrument (Depdiknas, 2009). Adapun hasil penghitungan daya pembeda untuk
item nomor 1 diperoleh: DP = PA – PB = 0,94 – 0,53 = 0,41. Dengan melakukan
perhitungan yang sama, maka daya pembeda untuk item nomor 2 sampai item 30
dapat diperoleh seperti yang tertera pada Tabel 4. di bawah in:
Berdasarkan hasil tes yang diperoleh, (Arikunto, 2006) maka dilakukan
analisis fungsi distraktor tiap item soal dan diperoleh data sebagai berikut:
Hasil Tes Awal
Melalui pemberian tes awal kepada kelas eksperimen diperoleh data hasil
belajar siswa kemudian diolah menjadi nilai perbutir soal, maka dapat dibuat tabel
frekuensi hasil belajar siswa yaitu:
Berdasarkan tabel. 6. di atas dapat diketahui bahwa jumlah seluruh siswa 34
orang, yaitu siswa yang memperoleh nilai 40 sebanyak 2 orang, siswa yang
memperoleh nilai 43,33 sebanyak 1 orang, siswa yang memperoleh nilai 46,67
sebanyak 1 orang, siswa yang memperoleh nilai 50 sebanyak 2 orang, siswa yang
memperoleh nilai 53,33 sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 56,67
sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 60 sebanyak 6 orang, siswa yang
memperoleh nilai 63,33 sebanyak 3 orang, siswa yang memperoleh nilai 66,67
sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 70 sebanyak 5 orang, siswa yang
memperoleh nilai 73,33 sebanyak 4 orang, siswa yang memperoleh nilai 76,67
sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 80 sebanyak 2 orang dengan
jumlah nilai keseluruhan 2130.
Berdasarkan tes hasil belajar siswa di atas, maka untuk menentukan ratarata hitung penelitian dengan menggunakan rumus (Sudjana, 2011):
= 62,65
Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh nilai rata-rata untuk tes awal di
kelas eksperimen sebesar 62,65. Berdasarkan data hasil tes awal di kelas
eksperimen, maka data tersebut dapat digunakan untuk menentukan simpangan
baku dengan rumus berikut ini:
S2 = 121,74
S = 11,03.
Uji
normalitas data dilakukan dengan cara menggunakan rumus uji Liliefors dengan
prosedur sebagai berikut (Sudjana, 2009).
Tabel 7.
Berdasarkan perhitungan uji normalitas tes awal hasil belajar dikelas
eksperimen diperoleh Lhitung sebesar 0,0654 kemudian hasil Lhitung tersebut
dikonsultasikan pada daftar nilai-nilai Lilifoers maka diperoleh Ltabel = 0,1497.
Ternyata semua nilai Lhitung ≤ Ltabel sehingga dapat disimpulkan bahwa data
penelitian berdistribusi normal.
Melalui pemberian tes awal kepada kelas kontrol diperoleh data hasil belajar
siswa dan kemudian diolah menjadi nilai perbutir soal. Hasil belajar siswa tersebut
di kelas kontrol pada tes awal dapat dilihat pada tabel berikut :
Berdasarkan tabel. 8. di atas dapat diketahui bahwa jumlah seluruh siswa 36
orang, yaitu siswa yang memperoleh nilai 40 sebanyak 3 orang, siswa yang
memperoleh nilai 50 sebanyak 3 orang, siswa yang memperoleh nilai 53,33
sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 56,67 sebanyak 1 orang, siswa
yang memperoleh nilai 60 sebanyak 3 orang, siswa yang memperoleh nilai 63,33
sebanyak 4 orang, siswa yang memperoleh nilai 66,67 sebanyak 4 orang, siswa
yang memperoleh nilai 70 sebanyak 5 orang, siswa yang memperoleh nilai 73,33
sebanyak 4 orang, siswa yang memperoleh nilai 76,67 sebanyak 4 orang, dan siswa
yang memperoleh nilai 80 sebanyak 3 orang dengan jumlah skor keseluruhan yaitu
2323,33.
Berdasarkan hasil belajar tes awal kelas kontrol, maka untuk menentukan
rata-rata hitung penelitian menggunakan rumus:
= 64,54
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diperoleh nilai rata-rata untuk tes awal di
kelas kontrol sebesar 64,54. Berdasarkan data hasil tes awal di kelas kontrol, maka
data tersebut dapat digunakan untuk menentukan simpangan baku dengan rumus
berikut ini:
S2 = 131,53
= 11,47
Uji normalitas data dilakukan dengan cara menggunakan rumus uji Liliefors
dengan prosedur sebagai berikut (Sudjana, 2009).
Berdasarkan hasil perhitungan uji normalitas tes awal hasil belajar diperoleh
Lhitung untuk kelas kontrol sebesar 0,0885 kemudian hasil Lhitung tersebut
dikonsultasikan pada daftar nilai-nilai Lilifoers maka diperoleh Ltabel = 0,1454.
Ternyata nilai Lhitung ≤ Ltabel sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian
berdistribusi normal. Berdasarkan data nilai tes awal hasil belajar siswa, diketahui
nilai rata-rata dan simpangan baku hasil belajar siswa sebagai berikut: Kelas
eksperimen : = 62,65 dan S2 = 121,74. Kelas kontrol : = 64,54 dan S2 = 131,53.
Selanjutnya untuk melakukan pengujian homogenitas maka nilai tersebut di atas
disubsitusikan pada rumus berikut:
Berdasarkan hasil perhitungan uji homogenitas (Sugiyono, 2012) diperoleh Fhitung
sebesar 1,080 kemudian hasil Fhitung tersebut dikonsultasikan pada daftar nilainilai, diperoleh Ftabel sebesar 1,490 maka Fhitung < Ftabel. Karna Fhitung = 1,080 < Ftabel
= 1,490 maka dapat disimpulkan nilai tes awal kelas eksperimen dan kelas kontrol
homogen.
Hasil Tes Akhir
Melalui pemberian tes akhir kepada kelas eksperimen, diperoleh data hasil
belajar dan kemudian diolah menjadi nilai perbutir soal. Berdasarkan data hasil
belajar siswa, maka dibuat tabel frekuensi sebagai berikut:
Berdasarkan tabel. 10. di atas dapat diketahui bahwa jumlah seluruh siswa
34 orang, yaitu siswa yang memperoleh nilai 63,33 sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 70 sebanyak 1 orang, siswa yang memperoleh nilai 76,67
sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 80 sebanyak 7 orang, siswa yang
memperoleh nilai 83,33 sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 86,67
sebanyak 6 orang, siswa yang memperoleh nilai 90 sebanyak 8 orang, siswa yang
memperoleh nilai 93,33 sebanyak 6 orang dengan jumlah nilai keseluruhan
2876,67.
Berdasarkan hasil belajar siswa diatas untuk menentukan rata-rata hitung
penelitian pada kelas eksperimen menggunakan rumus (Harefa, 2018):
Berdasarkan rata-rata hasil belajar siswa akhir dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar kelas eksperimen termasuk kategori sangat baik.
Berdasarkan data hasil belajar tes akhir kelas eksperimen, maka data
tersebut dapat digunakan untuk menentukan simpangan baku dengan rumus
berikut ini:
Melalui
pemberian tes akhir kepada kelas kontrol yang dilaksanakan pada tanggal 13
September 2017 diperoleh data hasil belajar dan kemudian diolah menjadi nilai
perbutir soal. Berdasarkan hasil belajar siswa, dibuat tabel frekuensi hasil belajar
sebagai berikut:
Berdasarkan Tabel 11. di atas dapat diketahui bahwa jumlah siswa
keseluruhan 36 orang, yaitu siswa yang memperoleh nilai 56,67 sebanyak 2 orang,
siswa yang memperoleh nilai 60 sebanyak 4 orang, siswa yang memperoleh nilai
63,33 sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 66,67 sebanyak 2 orang,
siswa yang memperoleh nilai 70 sebanyak 4 orang, siswa yang memperoleh nilai
73,33 sebanyak 3 orang, siswa yang memperoleh nilai 76,67 sebanyak 6 orang,
siswa yang memperoleh nilai 80 sebanyak 7 orang, siswa yang memperoleh nilai
83,33 sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh nilai 86,67 sebanyak 2 orang
dengan, dan siswa yang memperoleh nilai 90 sebanyak 2 orang dengan jumlah skor
keseluruhan yaitu 2653,33. Berdasarkan tes hasil belajar siswa di atas, maka
untuk menentukan rata-rata hitung penelitian menggunakan rumus:
Berdasarkan rata-rata hasil belajar tes akhir di kelas kontrol dapat
disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar termasuk kategori baik. Berdasarkan
data hasil belajar tes akhir kelas kontrol, maka data tersebut dapat digunakan
untuk menentukan simpangan baku dengan rumus berikut ini:
Berdasarkan perolehan nilai rata-rata hitung dan simpangan baku tes akhir
belajar siswa, selanjutnya untuk melakukan pengujian hipotesis, maka data
tersebut disubstitusikan pada rumus uji hipotesis. Berdasarkan perolehan data
dari hasil tes akhir penelitian maka diperoleh
Kelas eksperimen :
kelas kontrol = 73,70 dan S2 = 88,11
Selanjutnya data tersebut di atas disubsitusikan pada rumus uji t, dan
sebelumnya terlebih dahulu dihitung nilai S gabungan, sebagai berikut:
S2 =
diperoleh nilai S gabungan, selanjutnya dilakukan perhitungan nilai t hitung.
Pengujian hipotesis yang digunakan adalah uji t-test dengan 2 jumlah sampel n1=
n2 dan varians homogen sebagai berikut:
t =
Kemudian dikonsultasikan pada tabel harga t pada taraf
nyata ( ) = 0,05 maka statistik t berdistribusi student dengan dk = (n1 + n2 - 2).
Kriteria pengujian adalah Ha diterima jika dihitung thitung > t tabel. Berdasarkan
perhitungan uji hipotesis diketahui thitung sebesar 5,216 kemudian dikonsultasikan
pada tabel harga t dengan taraf signifikan 0,05 dimana ttabel sebesar 1,667 yang
berarti 5,216 > 1,667. Karna thitung > ttabel maka Ha diterima dan Ho ditolak pada
taraf signifikan 5% yang artinya “ada pengaruh model pembelajaran Creative
Problem Solving terhadap hasil belajar kognitif siswa SMP Negeri 1 Telukdalam
pada mata pelajaran IPA.
Pembahasan
temuan penelitian ini dimaksud untuk membahas lebih jauh
temuan-temuan penelitian sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Pembahasan temuan penelitian ini didasarkan pada tujuan penelitian, kajian
pustaka, temuan sebelumnya dan keterbatasan penelitian dengan urutan
pembahasan. Untuk lebih jelas dapat diuraikan di bawah ini:
Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas Eksperimen dengan Menggunakan Model
Pembelajaran Creative Problem Solving
Hasil belajar pada penelitian ini dilihat dari hasil belajar kognitif siswa. Hasil
belajar kognitif adalah kemampuan yang diperoleh siswa pada mata pelajaran IPA
di SMP Negeri 1 Telukdalam. Berdasarkan hasil analisis data penelitian di kelas
VII-C sebagai kelas eksperimen setelah menggunakan model pembelajaran
Creative Problem Solving ditemukan bahwa ada pengaruhnya terhadap hasil belajar
siswa dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada tes awal sebelum peneliti
melaksanakan pembelajaran. Hal ini terlihat pada rata-rata nilai hasil belajar yang
diperoleh siswa pada tes awal adalah 62,65 termasuk dalam kategori cukup
berdasarkan kriteria rata-rata hasil belajar. Hasil ini diperoleh sebelum peneliti
melaksanakan pembelajaran di kelas eksperimen, sedangkan rata-rata nilai hasil
belajar yang diperoleh siswa pada tes akhir setelah menggunakan model
pembelajaran Creative Problem Solving di kelas eksperimen adalah 84,61 termasuk
dalam kategori sangat baik berdasarkan kriteria rata-rata hasil belajar.
Berdasarkan hasil rata-rata dan simpangan baku yang diperoleh dalam penelitian ini sama dengan hasil penelitia (Harefa, 2020a) tentang “pengaruh
pembelajaran Creative Problem Solving terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas X
SMA Negeri 1 Luahagundre Maniamolo, diperoleh hasil penelitian yaitu pada
pembelajaran Creative Problem Solving memperoleh nilai rata-rata sebesar 74.79,
dan pada pembelajaran di kelas kontrol memperoleh nilai rata-rata sebesar 71.76.
Berdasarkan uji hipotesis diperoleh thitung sebesar 3.997 dan ttabel sebesar 1.986,
maka keputusan hipotesis nihil (Ho) ditolak dan disimpulkan bahwa model
pembelajaran Creative Problem Solving dapat berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa. Penelitian lain yang dilakukan oleh mengungkapkan bahwa terdapat
pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving terhadap hasil belajar siswa
kelas IX Negeri 2 Tuntang, dengan nilai signifikansi sebesar 0,046 < 0,050 yang
berarti rata-rata hasil belajar kedua kelompok berbeda dan karena rata-rata kelas
eksperimen (73,4375) lebih tinggi dari kelas kontrol (62,3125).
Pelaksanaan pembelajaran di kelas VII-C SMP Negeri 1 Telukdalam sebagai
kelas eksperimen terlihat bahwa semua siswa sangat antusias dan berperan aktif
serta bertanggungjawab dari hasil yang telah mereka temukan. Model
pembelajaran Creative Problem Solving menuntut siswa untuk berpikir logis serta
berpikir selektif. Menurut (Suyanto. & Mudjito., 2012) Suatu soal yang dianggap
sebagai “masalah” adalah soal yang memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya
contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal
latihan, siswa telah mengetahui cara menyelesaikannya, karena telah jelas
hubungan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan, dan biasanya telah ada
contoh soal (Sarumaha, R., Harefa, D., & Zagoto, 2018). Pada masalah siswa tidak
tahu bagaimana cara menyelesaikannya, tetapi siswa tertarik dan tertantang
menyelesaikannya, sehingga dalam mengambil keputusan menyelesaikan soal-soal
materi sel dan mendukung hasil belajar kognitif siswa.
Hasil Belajar Kognitif Siswa di Kelas
Kontrol dengan Menggunakan Model
Pembelajaran Konvensional
Pelaksanaan pembelajaran di kelas kontrol dengan menggunakan model
pembelajaran konvensional juga berpengaruh pada hasil belajar kognitif siswa. Hal
ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan di kelas VII-A sebagai kelas kontrol
di SMP Negeri 1 Telukdalam. Dari hasil pengolahan data penelitian ditemukan
bahwa hasil belajar kognitif siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional di kelas kontrol termasuk kategori
baik dibandingkan hasil yang diperoleh pada tes awal sebelum melaksanaan
pembelajaran.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata nilai hasil belajar kognitif
siswa pada tes awal di kelas kontrol adalah 64,54 termasuk dalam kategori cukup
berdasarkan kriteria rata-rata hasil belajar. Hasil ini diperoleh sebelum peneliti
melaksanakan pembelajaran di kelas kontrol, sedangkan rata-rata nilai hasil
belajar kognitif siswa yang diperoleh pada tes akhir dengan menggunakan model
pembelajaran konvensional di kelas kontrol adalah 73,70 termasuk dalam kategori
baik berdasarkan kriteria rata-rata hasil belajar. Hasil ini diperoleh setelah peneliti
melaksanakan pembelajaran di kelas VII-A sebagai kelas kontrol sel. Jika dilihat
dari peningkatan hasil belajar, disimpulkan bahwa model pembelajaran
konvensional berpengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa, tetapi pengaruhnya
lebih kecil dibanding dengan pengaruh model pembelajaran Creative Problem
Solving.
Dalam pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional ditandai
dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan serta pembagian tugas dan
latihan. Meskipun banyak terdapat kekurangan, model pembelajaran konvensional
ini masih diperlukan, mengingat model ini cukup efektif dalam memberikan
pemahaman kepada para murid pada awal-awal kegiatan pembelajaran. Pada pembelajaran konvensional cenderung pada belajar hafalan yang mentolerir
respon-respon yang bersifat konvergen, dan menekankan pada informasi konsep,
latihan soal dalam tes. (Suryosubroto, 2009) menyatakan bahwa “model
pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran tradisional dengan metode
ceramah. Dalam pembelajaran, model pembelajaran konvensional ditandai dengan
ceramah yang diiringi dengan penjelasan serta pembagian tugas dan latihan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
konvensional merupakan metode pembelajaran yang mengutamakan penguasaan
konsep-konsep bukan kompetensi. Model pembelajaran konvensional juga
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa khususnya di kelas kontrol.
Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving Terhadap Hasil
Belajar Siswa
Berdasarkan hasil tes awal dan tes akhir yang dilakukan oleh peneliti pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka peneliti melakukan pengujian hipotesis
untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving.
Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis diketahui thitung sebesar 5,216
kemudian dikonsultasikan pada tabel harga t dengan taraf signifikan 0,05 dimana
ttabel sebesar 1,667 yang berarti 5,216 > 1,667. Karna thitung > ttabel maka Ha
diterima dan Ho ditolak pada taraf signifikan 5% yang artinya “ada pengaruh model
pembelajaran Creative Problem Solving terhadap hasil belajar kognitif siswa SMP
Negeri 1 Telukdalam pada mata pelajaran IPA. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving lebih berpengaruh
dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar
kognitif siswa.
Hasil penelitian tersebut di atas diharapkan dapat memotivasi guru dalam
mencoba model pembelajaran Creative Problem Solving sehingga guru dapat
memiliki pengalaman tersendiri dalam mengajarkan suatu materi tertentu karena
model pembelajaran Creative Problem Solving sangat efektif membuka wawasan
dalam mengumpulkan berbagai informasi tentang permasalahan, berpikir kritis dan
kreatif serta siswa saling bekerja sama dengan cara saling memberikan ide atau
tanggapan.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan hasil temuan penelitian sebelumnya, peneliti
menarik beberapa kesimpulan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving
berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar IPA kognitif siswa. Hal ini dapat
dilihat dari hasil perhitungan uji hipotesis diketahui thitung sebesar 5,216 kemudian
dikonsultasikan pada tabel harga t dengan taraf signifikan 0,05 dimana ttabel
sebesar 1,667 yang berarti 5,216 > 1,667. Karna thitung > ttabel maka Ha diterima dan
Ho ditolak pada taraf signifikan 5% yang artinya “ada pengaruh model
pembelajaran Creative Problem Solving terhadap hasil belajar kognitif siswa pada
mata pelajaran IPA. Berdasarkan hasil penelitian, maka model pembelajaran
Creative Problem Solving memiliki pengaruh terhadap peningkatan hasil belajar IPA
siswa.
Saran
Bagi Bapak/Ibu guru, khususnya pengasuh mata pelajaran IPA supaya
menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving demi meningkatkan
kemampuan yang dimiliki siswa. Siswa diharapkan antusias belajar mandiri
setelah menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving tanpa harus
ada unsur paksaan dari guru.
DAFTAR PUSTAKA
Anjarsari, P. (2014). Literasi Sains Dalam Kurikulum Dan Pembelajaran Ipa Smp.
Prosiding Semnas Pensa VI. "Peran Literasi Sains”.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT Rineka
Cipta.
Budiningsih, A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta.
Depdiknas. (2009). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pusat Kurikulum,
Balitbang Depdiknas.
Dimyati dan Mudjiono. (2009). Belajar Dan Pembelajaran. PT. Rineka Cipta.
Djamarah, S. B. (2006). Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta.
Hamalik, O., & Oemar Hamalik. (2012). Kurikulum dan Pembelajaran. PT Bumi
Aksara.
Hamzah, U. B. (2013). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Bumi Aksara.
Harefa, D. (2018). Efektifitas Metode Fisika Gasing Terhadap Hasil Belajar Fisika
Ditinjau Dari Atensi Siswa (Eksperimen Pada Siswa Kelas Vii Smp Gita Kirtti 2
Jakarta). Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan, 5(1), 35–48.
Harefa, D. (2019). The Effect Of Guide Note Taking Instructional Model Towards
Physics Learning Outcomes On Harmonious Vibrations. JOSAR (Journal of
Students Academic Research), 4(1), 131–145.
Harefa, D. (2020). Pengaruh Model Pembelajaran Problem Solving Terhadap Hasil
Belajar IPA Fisika Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Luahagundre Maniamolo
Tahun Pembelajaran (Pada Materi Energi Dan Daya Listrik). Jurnal Education
and Development, 8(1), 231–234.
Harefa, D. (2020). Perkembangan belajar sains dalam model pembelajaran. CV.
Kekata Group.
Harefa, D. dkk. (2020). Teori Model Pembelajaran Bahasa Inggris dalam Sains. CV.
Insan Cendekia Mandiri.
Hermansyah, A., K., Tembang, Y., Purwanty, R. (2019). Penggunaan Media Kartu
Warna Kata untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Siswa
Kelas I SD Inpres Gudang Arang Merauke. Musamus Journal of Primary
Education, 1(2), 104–115.
Huda. (2014). Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Pustaka Pelajar.
Isjoni. (2014). Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok. PT. Alfabeta.
Lufri. (2010). Strategi Pembelajaran Biologi Teori, Praktek, dan Penelitian. Negeri
Padang University Press.
Rahayu, D. P. (2019). Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Materi Bangun Datar di Kelas III Sekolah Dasar.
Musamus Journal of Primary Education, 1(2), 061–072.
Rusman. (2014). Model – Model Pembelajaran : Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Raja Grafindo Persada.
Sagala, S. (2005). Konsep dan Makna Pembelajaran Untuk Membantu Memecahkan
Problematika Belajar dan Mengajar. Alfabeta.
Sanjaya, W. (2009). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. PT. Prenada
Media Group.
Sardiman. (2011). Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Raja Grafindo Persada.
Sarumaha, R., Harefa, D., & Zagoto, M. . (2018). Upaya Meningkatkan Kemampuan
Pemahaman Konsep geometri Transformasi Refleksi Siswa Kelas XII-IPA-B
SMA Kampus Telukdalam Melalui Model Pembelajaran Discovery learning
Berbantuan Media Kertas Milimeter. Jurnal Education and Development, 6(1),
90–96.
Shoimin, A. (2014). 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013. AR-Ruzz
Media.
Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Rineka Cipta.
Sudjana. (2009). Metode Statiska. Tarsito.Sudjana, N. (2011). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. PT Remaja
Rosdakarya.
Sudjana, N. (2014). Penelitian Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya.
Sugiyarto, T. (2008). ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS VII SMP/MTs. Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional,.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung.
Alfabeta.
Suprijono, A. (2010). Cooperative Learning. Pustaka Media.
Suryosubroto. (2009). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. PT Remaja Rosdakarya.
Suyanto. & Mudjito. (2012). Masa Depan Pendidikan Inklusif. Kemendiknas.
Trianto. (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. PT. Kencana
Prenada Media Grup.
0 Komentar untuk "Peningkatan Hasil Belajar IPA pada Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)"